Wikipedia

Hasil penelusuran

Sabtu, 28 Juli 2012

Hukum Pengangkutan Angkutan Laut


ANGKUTAN LAUT

A.  PERTANGGUNGJAWABAN DALAM PENGANGKUTAN LAUT

1.      Landasan Teori Yuridik
Pihak lain yang tidak dapat lari dari tanggung jawab hukum adalah mereka yang menerima Transmission of Rights, baik dengan cara membeli maupun menyewa kedua alat angkut yang tertimpa malapetaka itu. Tidak dikecualikan di antara keduanya adalah pihak pemerintah dan badan kementerian negara atau pihak berwenang lainnya yang terlibat dalam hal perizinan atas pembelian, sewa, atau Leasing atau Subleasing, maupun pengelolaan kedua alat angkut tersebut.
ADA banyak negara dengan sistem Anglo-Saxon, misalnya Inggris, AS, Malaysia, dan Australia, mengenal sebuah doktrin yang ditemukan dan dirumuskan agak terlambat oleh para perumusnya. Doktrin itu bernama Captain of The Ship Doctrine (Doktrin Nakhoda).
Dilihat dari namanya, doktrin tersebut diambil dari dunia pelayaran yang waktu itu memang didominasi oleh para pelaut Inggris.
Menurut "Doktrin Nakhoda" itu, seorang kapten atau nakhoda kapal bertanggung jawab secara yuridis atas semua kejadian selama memimpin suatu pelayaran. Sebab, di tangan nakhodalah segala sesuatu -termasuk informasi mengenai navigasi, bahkan cuaca sebelum dan selama pelayaran berada.
Nakhoda jugalah yang paling mengetahui kondisi kapal yang dikemudikannya, layak atau tidak untuk mengarungi lautan dan samudera yang bukan saja penuh keindahan dan keuntungan yang bakal diraih, melainkan juga tantangan dan marabahaya yang setiap kali mengancam kapal dan seluruh isinya, terutama keselamatan jiwa dan harta benda mereka yang menggunakan kapal tersebut.
2.      Kaidah Kontraktual
Sebetulnya "Doktrin Nakhoda" adalah secuil dari satu sistem yang berisi kaidah kontraktual yang sudah lama ada, jauh sebelum kegiatan dunia perdagangan di laut didominasi oleh para pelaut pedagang Inggris, dan yang akhirnya menebar pengaruh sistem hukum Anglo-Saxon itu.
Di Indonesia, dalam bidang ketatanegaraan, kaidah kontraktual itu ditulis di dalan naskah asli undang-undang dasar negara. Dengan Artistic Approach atau Hukum Sebagai Seni, mudah ditemukan spirit dari hubungan kontraktual yang esensinya persis sama mendikte pencantuman Captain of The Ship Doctrine itu ke dalam bagian Penjelasan UUD 1945.
Di dalam Bagian IV Penjelasan UUD 1945 yang mengatur sistem pemerintahan negara ditegaskan, presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi. Harus diakui, belakangan kaidah kontraktual yang demikian itu mendapat kecaman atau kritik yang keras dari para pemikir politik yang mengagumi teori pemerintahan demokratis. Bagi para pengagum berat gerakan Demokratisasi, "Doktrin Nakhoda" dipandang sebagai sebuah doktrin yang mendorong Otoritarianisme.
Namun, esensinya hanyalah merupakan suatu kaidah hukum yang cukup penting dan tidak dapat ditinggalkan, apabila persoalan pertanggungjawaban hendak ditentukan akan diberikan kepada siapa dan dari siapa.
Dalam kaitan dengan berbagai kecelakaan, barangkali Perspektif Kontraktual yang terkandung di dalam Captain of The Ship Doctrine itu perlu dikritisi dalam rangka mencari jawaban atas problema yang telah & mungkin akan terjadi sebagai Kerangka Teori Berpikir Yuridik dalam hukum pengangkutan pada umumnya, spesifikasinya pengangkutan laut.
Apabila rujukan utama pertanggungjawaban itu Captain of The Ship Doctrine, hanya ada satu pihak yang harus memikul semua pertanggungjawaban, termasuk beban pembuktian dan ganti rugi. Pihak yang diminta pertanggungjawabannya itu adalah nakhoda atau kapten. Hal itu sudah tentu akan dipandang sangat tidak masuk akal (unreasonable) dan jauh dari keadilan (fairness).
3.      Penentuan Pihak Ketiga
Dalam Perspektif Kontraktual, hukum yang sudah barang tentu jauh lebih tinggi kedudukannya dari sekadar sebuah doktrin (Supremacy of Law), mengisyaratkan perlu adanya subjek atau pihak yang terlibat di dalam suatu hubungan.
Dalam kontrak pengangkutan, para pihak yang terlibat di dalam hubungan hukum itu adalah pihak yang berjanji mengangkut/pengangkut dan pihak yang diangkut atau pihak yang menggunakan jasa pengangkutan.
Pihak ketiga pertama adalah pihak yang mendelegasikan pertanggungjawaban kepada nakhoda/kapten menurut hukum. Oleh karena itu harus turut bertanggung jawab.
Pihak ketiga lainnya yang diburu dan dituntut serta didikte oleh hukum agar tidak melepaskan tanggung jawab dalam kecelakaan, tidaklah sukar ditentukan. Pihak ketiga tersebut bisa saja pembuat kapal.
Di balik pihak ketiga tersebut, ada Issue Product Liability. Sifat dari pertanggungjawaban itu adalah mutlak (absolut), tidak bisa dieksonerasikan.
Pihak ketiga berikutnya yang tidak dapat lari dari tanggung jawab hukum adalah mereka yang menerima Transmission of Rights, baik dengan cara membeli maupun menyewa alat angkut yang tertimpa malapetaka tersebut.
Tidak dikecualikan di antara keduanya adalah pihak pemerintah dan badan kementerian negara atau pihak berwenang lainnya yang terlibat dalam hal perizinan atas pembelian, sewa, atau Leasing atau Subleasing, maupun pengelolaan alat angkut tersebut.
Selain badan-badan negara yang berwenang dalam hal perizinan, ada juga negara yang terlibat dalam menjamin keselamatan pelayaran, penerbangan, navigasi, dan prakiraan cuaca dalam bisnis pengangkutan tersebut.
Dalam Perspektif Kontraktual, badan-badan itu tidak dapat lari begitu saja dari tanggung jawab yuridis yang berada di dalam genggaman atau penguasaan/otoritas atau kewenangan mereka.
Tidak dikecualikan dalam pengertian pihak ketiga, menurut hukum, adalah pihak perusahaan asuransi yang menerima peralihan risiko, baik atas harta benda maupun jiwa yang dipertanggungkan oleh pihak pengangkut dan yang menggunakan jasa angkutan dengan cara membayar premi asuransi yang biasanya telah disatupadukan dalam karcis penumpang yang dibeli.

B.  KLAIM KARGO, SATU ASPEK HUKUM DALAM PENGANGKUTAN LAUT

Transportasi laut sebagai salah satu pilar utama untuk pengangkutan perdagangan nasional maupun internasional yang menghubungkan Daerah atau Negara (Eksportir) dan Daerah dan atau Negara (Importir) masih merupakan pilihan utama sampai sekarang ini diakrenakan pengangkutan melalui laut relative lebih murah dengan kapasitas volume pengangkutan yang besar.
Pihak-pihak yang terlibat dalam pengangkutan laut pada prinsipnya adalah Shipper dan atau Eksportir sebagai Pengirim Barang, Shipping Line sebagai Pengangkut, Consignee dan atau Importir sebagai Penerima Barang disamping adanya Trucking, Container Freight Station/Warehousing & Pelabuhan (Port Authority).
Salah satu persengketaan yang sering timbul di dalam pengangkutan laut adalah adanya kerusakan barang yang menimbulkan hak tuntutan ganti rugi dari pemilik barang kepada pengangkut. Timbulnya claim-claim dari pemilik barang berupa kerusakan barang menjadi bagian yang tak kalah penting untuk diperhatikan oleh para pihak yang terlibat dalam proses pengangkutan untuk dapat menentukan pihak mana yang benar-benar bertanggung jawab terhadap tuntutan ganti rugi atas kerusakan barang tersebut.
1.      Menentukan Pihak Yang Bertanggung Jawab
untuk dapat menetukan pihak mana yang bertanggung jawab maka harus dilihat Proses Operasional dari barang Eksportir sejak dari gudangnya/gudang CFS (Container Freight Station - Konsolidasi) sampai dengan gudang Importir/gudang CFS – Dekonsolidasi). Secara garis besar proses operasionalnya adalah :
Pertama, Eksportir akan memuat (Stuffing) kargonya kedalam Kontainer di gudangnya/gudang CFS, pihak yang terlibat disini adalah Eksportir atau Warehousing.
Kedua, kargo dibawa dengan truk ke Container Yard pelabuhan muat (Port of Loading), pihak yang terlibat adalah Perusahaan Trucking & Pelabuhan Muat.
Ketiga, kargo dimuat ke atas kapal & dibongkar di Container Yard Pelabuhan Bongkar (Port of Dischange), yang terlibat adalah Perusahaan Pelayaran (Shiping Line) & Pihak pelabuhan Bongkar.
Keempat, kargo dibawa ke gudang dengan truk menuju ke gudang Importir/Gudang CFS, pihak yang terlibat adalah Perusahaan Perusahaan Trucking dan Importir/Warehousing. Untuk melaksanakan pengangkutan tersebut maka pihak Eksportir & Importir biasanya akan mensubkontrakkan ke satu pihak yaitu Freight Forwarder & Freight Forwarder akan mensubkontrakkan ke pihak-pihak yang terlibat dalam proses pengangkutan seperti disebut dalam tahap pertam sampai dengan tahap keempat. Melihat dari proses tersebut maka potensi terjadinya kerusakan kargo ada pada setiap tahap tersebut & pihak-pihak yang terlibat tersebut adalah pihak yang berpotensi untuk bertanggung jawab.
Oleh karenanya untuk dapat menetukan pihak yang bertanggung jawab atas kerusakan barang maka secara tekhnis operasonal dalam setiap proses peralihan dari satu pihak ke pihak lainnya (misal dari pihak Trucking ke pihak Pelabuhan Muat) akan diterbitkan dokumen yang melindungi proses peralihan tersebut apakah kargo diterima dari pihak Trucking ke pihak Pelabuhan Muat dalam kondisi baik (Sound Condition) atau ada kerusakan. Jika dalam keadaan baik maka tanggung jawab beralih ke pihak pelabuhan muat atau apabila kargo dalam kondisi ada kerusakan maka ada dokumen yang menyatakan bahwa kargo dalam kondisi rusak dalam penguasaan pihak Trucking sehingga pihak Pelabuhan Muat tidak bertanggung jawab.
Oleh karena itu setiap pihak yang terlibat dalam proses peralihan kargo harus         berhati-hati dengan mengadakan pengecekan yaitu dalam kondisi apakah kargo sebelum ada didalam penguasaanya. Karena jika dalam proses peralihan tersebut kondisi kargo dalam keadaan ada kerusakan atau rusak tetapi dinyatakan dalam keadaan baik maka resiko & tanggung jawab akan beralih pada pihak-pihak berikutnya.
Pada prakteknya tuntutan ganti atau klaim kargo akan diajukan kepada pihak yang terakhir menguasai kargo tersebut atau dengan melihat karakeristik kerusakannya misal apabila ada kerusakan basah (Wet Damage) kepada pihak pelayaran.
2.      Pengajuan Klaim & Problematik Pembuktian
Shipper dan atau Eksportir atau Consignee dan atau Importir pada umunya akan mengasuransikan kargonya, sehingga apabila terjadi kerusakan sesuai dengan yang diperjanjikan di dalam polis maka asuransi akan memberikan ganti kerugian dan berdasarkan Subrogation Letter, maka pihak Shipper/Consignee's Insurance akan mengajukan tuntutan ganti rugi ke pihak yang berdasarkan pembuktiannya dianggap bertanggung jawab. Di dalam prakteknya perusahaan asuransi akan menguasakan kepada Recovery Agent.
Yang menjadi persoalan adalah bahwa pihak yang dituntut, dalam hal ini akan diambil contoh missal Shipping Line dengan asumsi bahwa tanggung jawabnya adalah Tacke to Takle merasa bahwa ketika barang dalam penguasaanya tidak terjadi peristiwa atau incident yang menimbulkan kerusakan pada barang. Berdasarkan hal tersebut maka Shipping Line sebagai Carrier tentu akan membuktikan bahwa ketika kargo di atas kapal tidak terjadi peristiwa apapun yang mengakibatkan kerusakan dan atau kerugian (Loss & Damage). Sebab di dalam prakteknya apabila terjadi suatu peristiwa di atas kapal termasuk jika berakibat pada rusaknya barang misal kapal bocor sehingga kargo basah, atau terkena topan sehingga kargo tercebur ke laut (Loss Over Board) maka Nahkoda Kapal (Master of Vessel) akan menerbitkan Master Statemant yang menyatakan adanya peristiwa tertentu, waktu, tempat & akibatnya.
Seperti disebutkan bahwa setiap peralihan dari satu pihak ke pihak lain ada dokumen yang melindunginya & apabila dikaitkan dengan kasus tuntutan ganti rugi ke Pelayaran (Shipping Line) diatas maka apabila kargo pada saat diterima oleh Shipping Line dianggap Sound Condition maka pihak pelayaran sebagai Carrier akan menerbitkan Clean Bill of Lading. Hal tersebut dianggap oleh pihak yang mengajukan klaim bahwa Carrier menerima kargo dalam kondisi baik tanpa pengecualian & apabila pada saat dibongkar ada kerusakan maka kerusakan itu dianggap terjadi pada saat kargo ada dalam penguasaan Pelayaran (Shipping Line) sebagai Carrier (In Carrier Care & Custody). Tentu terhadap hal ini pelayaran sebagai Carrier akan mengacu pada klausul-klausul yang terdapat di dalam Bill of Lading yaitu dengan kemungkinan bahwa Carrier menganggap bahwa kargo sebelum dimuat di atas kapal dalam kondisi Latent Defect (cacat tersembunyi) yang tidak dapat diketahui oleh Carrier dan atau agennya dengan pengamatan yang sewajarnya (Due Diligence), atau Carrier menganggap bahwa Shipper lalai menyediakan kargo yang layak untuk diangkut (Sea Worthy).
Hal tersebut menjadi satu contoh yang pada umunya dimana para pihak di dalam proses pengangkutan akan selalu merasa bahwa pihanya tidak bersalah terhadap kerusakan dan atau kerugian terhadap kargo ketika di dalam penguasaannya. Hal ini terjadi dikarenakan kekurangcermatan & kehati-hatian proses pengecekan pada proses peralihan kargo dari satu pihak ke pihak lain untuk menentukan kondisi kargo dalam keadaan baik atau ada kerusakan sebelum beralih ke pihak berikutnya.
Untuk memperbaiki keadaan tersebut maka hal-hal yang perlu dilakukan adalah :
Pertama, meningkatkan kecermatan & kehati-hatian pengecekan kargo di dalam proses peralihan dari satu pihak ke pihak lainnya sehingga apabila ada kerusakan bisa segera diketahui & ditentukan pihak yang sebenarnya harus bertanggung jawab.
Kedua, memperjelas hukum perjanjian yang disepakati oleh pihak pemilik barang dengan pengangkut yang berkaitan dengan klausul pengajuan klaim dan tuntutan ganti rugi yang memperjelas jenis-jenis kerusakan seperti apa yang bisa dituntut & dipertanggungjawabkan oleh pemilik barang kepada pengangkut.




   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar