ANGKUTAN
LAUT
A. PERTANGGUNGJAWABAN
DALAM PENGANGKUTAN LAUT
1.
Landasan
Teori Yuridik
Pihak lain
yang tidak dapat lari dari tanggung jawab hukum adalah mereka yang menerima Transmission of Rights, baik
dengan cara membeli maupun menyewa kedua alat angkut yang tertimpa malapetaka
itu. Tidak dikecualikan di antara keduanya adalah pihak pemerintah dan badan
kementerian negara atau pihak berwenang lainnya yang terlibat dalam hal
perizinan atas pembelian, sewa, atau Leasing
atau Subleasing, maupun
pengelolaan kedua alat angkut tersebut.
ADA
banyak negara dengan sistem Anglo-Saxon, misalnya Inggris, AS, Malaysia, dan
Australia, mengenal sebuah doktrin yang ditemukan dan dirumuskan agak terlambat
oleh para perumusnya. Doktrin itu bernama Captain
of The Ship Doctrine (Doktrin
Nakhoda).
Dilihat dari
namanya, doktrin tersebut diambil dari dunia pelayaran yang waktu itu memang
didominasi oleh para pelaut Inggris.
Menurut "Doktrin
Nakhoda" itu, seorang kapten atau nakhoda kapal bertanggung jawab
secara yuridis atas semua kejadian selama memimpin suatu pelayaran. Sebab, di
tangan nakhodalah segala sesuatu -termasuk informasi mengenai navigasi, bahkan
cuaca sebelum dan selama pelayaran berada.
Nakhoda
jugalah yang paling mengetahui kondisi kapal yang dikemudikannya, layak atau
tidak untuk mengarungi lautan dan samudera yang bukan saja penuh keindahan dan
keuntungan yang bakal diraih, melainkan juga tantangan dan marabahaya yang
setiap kali mengancam kapal dan seluruh isinya, terutama keselamatan jiwa dan
harta benda mereka yang menggunakan kapal tersebut.
2.
Kaidah Kontraktual
Sebetulnya "Doktrin
Nakhoda" adalah secuil dari satu sistem yang berisi kaidah
kontraktual yang sudah lama ada, jauh sebelum kegiatan dunia perdagangan di
laut didominasi oleh para pelaut pedagang Inggris, dan yang akhirnya menebar
pengaruh sistem hukum Anglo-Saxon itu.
Di Indonesia,
dalam bidang ketatanegaraan, kaidah kontraktual itu ditulis di dalan naskah
asli undang-undang dasar negara. Dengan Artistic
Approach atau Hukum Sebagai Seni, mudah ditemukan
spirit dari hubungan kontraktual yang esensinya persis sama mendikte
pencantuman Captain of The Ship
Doctrine itu ke dalam bagian Penjelasan
UUD 1945.
Di dalam Bagian IV Penjelasan UUD
1945 yang mengatur sistem pemerintahan negara ditegaskan, presiden ialah
penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi. Harus diakui, belakangan
kaidah kontraktual yang demikian itu mendapat kecaman atau kritik yang keras
dari para pemikir politik yang mengagumi teori pemerintahan demokratis. Bagi
para pengagum berat gerakan Demokratisasi, "Doktrin Nakhoda"
dipandang sebagai sebuah doktrin yang mendorong Otoritarianisme.
Namun, esensinya hanyalah merupakan suatu kaidah hukum yang cukup
penting dan tidak dapat ditinggalkan, apabila persoalan pertanggungjawaban
hendak ditentukan akan diberikan kepada siapa dan dari siapa.
Dalam kaitan dengan berbagai kecelakaan, barangkali Perspektif
Kontraktual yang terkandung di dalam Captain of The Ship Doctrine itu perlu dikritisi dalam
rangka mencari jawaban atas problema yang telah & mungkin akan terjadi
sebagai Kerangka Teori Berpikir Yuridik dalam hukum pengangkutan pada
umumnya, spesifikasinya pengangkutan laut.
Apabila rujukan utama pertanggungjawaban itu Captain of The Ship Doctrine, hanya ada satu pihak yang
harus memikul semua pertanggungjawaban, termasuk beban pembuktian dan ganti
rugi. Pihak yang diminta pertanggungjawabannya itu adalah nakhoda atau kapten.
Hal itu sudah tentu akan dipandang sangat tidak masuk akal (unreasonable) dan jauh dari keadilan (fairness).
3.
Penentuan Pihak Ketiga
Dalam Perspektif
Kontraktual, hukum yang sudah barang tentu jauh lebih tinggi
kedudukannya dari sekadar sebuah doktrin (Supremacy
of Law), mengisyaratkan perlu adanya subjek atau pihak yang
terlibat di dalam suatu hubungan.
Dalam kontrak
pengangkutan, para pihak yang terlibat di dalam hubungan hukum itu adalah pihak
yang berjanji mengangkut/pengangkut dan pihak yang diangkut atau pihak yang
menggunakan jasa pengangkutan.
Pihak ketiga
pertama adalah pihak yang mendelegasikan pertanggungjawaban kepada
nakhoda/kapten menurut hukum. Oleh karena itu harus turut bertanggung jawab.
Pihak ketiga
lainnya yang diburu dan dituntut serta didikte oleh hukum agar tidak melepaskan
tanggung jawab dalam kecelakaan, tidaklah sukar ditentukan. Pihak ketiga
tersebut bisa saja pembuat kapal.
Di balik pihak ketiga tersebut, ada Issue Product Liability. Sifat dari pertanggungjawaban itu
adalah mutlak (absolut), tidak bisa dieksonerasikan.
Pihak ketiga berikutnya yang tidak dapat lari dari tanggung jawab hukum
adalah mereka yang menerima Transmission
of Rights, baik dengan cara membeli maupun menyewa alat angkut yang
tertimpa malapetaka tersebut.
Tidak dikecualikan di antara keduanya adalah pihak pemerintah dan badan
kementerian negara atau pihak berwenang lainnya yang terlibat dalam hal
perizinan atas pembelian, sewa, atau Leasing
atau Subleasing, maupun
pengelolaan alat angkut tersebut.
Selain badan-badan negara yang berwenang dalam hal perizinan, ada juga
negara yang terlibat dalam menjamin keselamatan pelayaran, penerbangan,
navigasi, dan prakiraan cuaca dalam bisnis pengangkutan tersebut.
Dalam Perspektif Kontraktual, badan-badan itu tidak dapat lari begitu
saja dari tanggung jawab yuridis yang berada di dalam genggaman atau
penguasaan/otoritas atau kewenangan mereka.
Tidak dikecualikan dalam pengertian pihak ketiga, menurut hukum, adalah
pihak perusahaan asuransi yang menerima peralihan risiko, baik atas harta benda
maupun jiwa yang dipertanggungkan oleh pihak pengangkut dan yang menggunakan
jasa angkutan dengan cara membayar premi asuransi yang biasanya telah
disatupadukan dalam karcis penumpang yang dibeli.
B. KLAIM
KARGO, SATU ASPEK HUKUM DALAM PENGANGKUTAN LAUT
Transportasi
laut sebagai salah satu pilar utama untuk pengangkutan perdagangan nasional
maupun internasional yang menghubungkan Daerah atau Negara (Eksportir) dan
Daerah dan atau Negara (Importir) masih merupakan pilihan utama sampai sekarang
ini diakrenakan pengangkutan melalui laut relative lebih murah dengan kapasitas
volume pengangkutan yang besar.
Pihak-pihak
yang terlibat dalam pengangkutan laut pada prinsipnya adalah Shipper
dan atau Eksportir sebagai Pengirim Barang, Shipping
Line sebagai Pengangkut, Consignee dan atau Importir
sebagai Penerima Barang disamping adanya Trucking, Container Freight
Station/Warehousing & Pelabuhan (Port Authority).
Salah satu
persengketaan yang sering timbul di dalam pengangkutan laut adalah adanya
kerusakan barang yang menimbulkan hak tuntutan ganti rugi dari pemilik barang
kepada pengangkut. Timbulnya claim-claim dari pemilik barang berupa kerusakan
barang menjadi bagian yang tak kalah penting untuk diperhatikan oleh para pihak
yang terlibat dalam proses pengangkutan untuk dapat menentukan pihak mana yang benar-benar
bertanggung jawab terhadap tuntutan ganti rugi atas kerusakan barang tersebut.
1. Menentukan Pihak Yang Bertanggung Jawab
untuk dapat
menetukan pihak mana yang bertanggung jawab maka harus dilihat Proses
Operasional dari barang Eksportir sejak dari gudangnya/gudang CFS
(Container Freight Station - Konsolidasi) sampai dengan gudang Importir/gudang
CFS – Dekonsolidasi). Secara garis besar proses operasionalnya adalah :
Pertama,
Eksportir akan memuat (Stuffing) kargonya kedalam
Kontainer di gudangnya/gudang CFS, pihak yang terlibat disini adalah Eksportir
atau Warehousing.
Kedua, kargo dibawa dengan truk ke Container Yard pelabuhan
muat (Port
of Loading), pihak yang terlibat adalah Perusahaan Trucking &
Pelabuhan Muat.
Ketiga, kargo dimuat ke atas kapal & dibongkar di Container
Yard Pelabuhan Bongkar (Port of Dischange), yang terlibat
adalah Perusahaan Pelayaran (Shiping Line) & Pihak pelabuhan
Bongkar.
Keempat, kargo dibawa ke gudang dengan truk menuju ke gudang
Importir/Gudang CFS, pihak yang terlibat adalah Perusahaan Perusahaan Trucking
dan Importir/Warehousing. Untuk melaksanakan pengangkutan tersebut maka pihak
Eksportir & Importir biasanya akan mensubkontrakkan ke satu pihak yaitu
Freight Forwarder & Freight Forwarder akan mensubkontrakkan ke pihak-pihak
yang terlibat dalam proses pengangkutan seperti disebut dalam tahap pertam
sampai dengan tahap keempat. Melihat dari proses tersebut maka potensi
terjadinya kerusakan kargo ada pada setiap tahap tersebut & pihak-pihak
yang terlibat tersebut adalah pihak yang berpotensi untuk bertanggung jawab.
Oleh karenanya untuk dapat menetukan pihak yang bertanggung jawab atas
kerusakan barang maka secara tekhnis operasonal dalam setiap proses peralihan
dari satu pihak ke pihak lainnya (misal dari pihak Trucking ke pihak Pelabuhan
Muat) akan diterbitkan dokumen yang melindungi proses peralihan tersebut apakah
kargo diterima dari pihak Trucking ke pihak Pelabuhan Muat dalam kondisi baik (Sound
Condition) atau ada kerusakan. Jika dalam keadaan baik maka tanggung jawab
beralih ke pihak pelabuhan muat atau apabila kargo dalam kondisi ada kerusakan
maka ada dokumen yang menyatakan bahwa kargo dalam kondisi rusak dalam
penguasaan pihak Trucking sehingga pihak Pelabuhan Muat tidak bertanggung
jawab.
Oleh karena itu setiap pihak yang terlibat dalam proses peralihan kargo
harus berhati-hati dengan
mengadakan pengecekan yaitu dalam kondisi apakah kargo sebelum ada didalam
penguasaanya. Karena jika dalam proses peralihan tersebut kondisi kargo dalam
keadaan ada kerusakan atau rusak tetapi dinyatakan dalam keadaan baik maka
resiko & tanggung jawab akan beralih pada pihak-pihak berikutnya.
Pada prakteknya tuntutan ganti atau klaim kargo akan diajukan
kepada pihak yang terakhir menguasai kargo tersebut atau dengan melihat
karakeristik kerusakannya misal apabila ada kerusakan basah (Wet
Damage) kepada pihak pelayaran.
2.
Pengajuan Klaim & Problematik Pembuktian
Shipper
dan atau Eksportir atau Consignee dan atau Importir
pada umunya akan mengasuransikan kargonya, sehingga apabila terjadi kerusakan
sesuai dengan yang diperjanjikan di dalam polis maka asuransi akan memberikan
ganti kerugian dan berdasarkan Subrogation Letter, maka pihak
Shipper/Consignee's Insurance akan mengajukan tuntutan ganti rugi ke pihak yang
berdasarkan pembuktiannya dianggap bertanggung jawab. Di dalam prakteknya
perusahaan asuransi akan menguasakan kepada Recovery Agent.
Yang menjadi
persoalan adalah bahwa pihak yang dituntut, dalam hal ini akan diambil contoh
missal Shipping Line dengan asumsi bahwa tanggung jawabnya adalah Tacke
to Takle merasa bahwa ketika barang dalam penguasaanya tidak terjadi
peristiwa atau incident yang menimbulkan kerusakan pada barang. Berdasarkan hal
tersebut maka Shipping Line sebagai Carrier tentu akan membuktikan bahwa ketika
kargo di atas kapal tidak terjadi peristiwa apapun yang mengakibatkan kerusakan
dan atau kerugian (Loss & Damage). Sebab di dalam prakteknya apabila terjadi
suatu peristiwa di atas kapal termasuk jika berakibat pada rusaknya barang
misal kapal bocor sehingga kargo basah, atau terkena topan sehingga kargo
tercebur ke laut (Loss Over Board) maka Nahkoda Kapal (Master of Vessel) akan
menerbitkan Master Statemant yang menyatakan adanya peristiwa tertentu, waktu,
tempat & akibatnya.
Seperti
disebutkan bahwa setiap peralihan dari satu pihak ke pihak lain ada dokumen
yang melindunginya & apabila dikaitkan dengan kasus tuntutan ganti rugi ke
Pelayaran (Shipping Line) diatas maka apabila kargo pada saat diterima
oleh Shipping Line dianggap Sound Condition maka pihak pelayaran
sebagai Carrier akan menerbitkan Clean Bill of Lading. Hal tersebut
dianggap oleh pihak yang mengajukan klaim bahwa Carrier menerima kargo dalam
kondisi baik tanpa pengecualian & apabila pada saat dibongkar ada kerusakan
maka kerusakan itu dianggap terjadi pada saat kargo ada dalam penguasaan
Pelayaran (Shipping Line) sebagai Carrier (In Carrier Care & Custody).
Tentu terhadap hal ini pelayaran sebagai Carrier akan mengacu pada
klausul-klausul yang terdapat di dalam Bill of Lading yaitu dengan kemungkinan
bahwa Carrier menganggap bahwa kargo sebelum dimuat di atas kapal dalam kondisi
Latent
Defect (cacat tersembunyi) yang tidak dapat diketahui oleh Carrier dan
atau agennya dengan pengamatan yang sewajarnya (Due Diligence), atau
Carrier menganggap bahwa Shipper lalai menyediakan kargo yang layak untuk
diangkut (Sea Worthy).
Hal tersebut
menjadi satu contoh yang pada umunya dimana para pihak di dalam proses
pengangkutan akan selalu merasa bahwa pihanya tidak bersalah terhadap kerusakan
dan atau kerugian terhadap kargo ketika di dalam penguasaannya. Hal ini terjadi
dikarenakan kekurangcermatan & kehati-hatian proses pengecekan pada proses
peralihan kargo dari satu pihak ke pihak lain untuk menentukan kondisi kargo
dalam keadaan baik atau ada kerusakan sebelum beralih ke pihak berikutnya.
Untuk
memperbaiki keadaan tersebut maka hal-hal yang perlu dilakukan adalah :
Pertama,
meningkatkan kecermatan & kehati-hatian pengecekan kargo di dalam proses
peralihan dari satu pihak ke pihak lainnya sehingga apabila ada kerusakan bisa
segera diketahui & ditentukan pihak yang sebenarnya harus bertanggung
jawab.
Kedua,
memperjelas hukum perjanjian yang disepakati oleh pihak pemilik barang dengan
pengangkut yang berkaitan dengan klausul pengajuan klaim dan tuntutan ganti
rugi yang memperjelas jenis-jenis kerusakan seperti apa yang bisa dituntut
& dipertanggungjawabkan oleh pemilik barang kepada pengangkut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar