Chapter 4
PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG
Beberapa hari terakhir ini kita mendapat sajian fakta hukum
yang mengenaskan dalam perjalanan Republik ini. Mafia hukum bertebaran
dimana-mana, bahkan sampai mencabik-cabik prosedur hukum yang telah dijalankan pemerintah.
Makelar hukum yang biasa dikenal markus juga begitu perkasa merekayasa berbagai
status hukum yang tak jelas duduk perkaranya.
Hampir setiap saat kita dapat menemukan berita, informasi,
laporan atau ulasan yang berhubungan dengan lembaga-lembaga hukum kita. Salah
satu permasalahan yang perlu mendapat perhatian kita semua adalah merosotnya
rasa hormat masyarakat terhadap wibawa hukum. Penegakan
hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yang dimulai
dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum.
Penegakan hukum pada hakekatnya merupakan interaksi antara berbagai pelaku
manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan
yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegak hukum tidak dapat
semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum
legalistic. Namun proses penegakan hukum mempunyai
dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena
dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan
pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa problem-problem hukum yang
akan selalu menonjol adalah problema “law in action” bukan
pada “law in the books”.
Akal budi manusia
akan menuntun manusia untuk menemukan wujud kebaikan dan keadilan yang
didambakan. Jika hukum disusun supaya dapat mengikat perbuatan manusia, maka
hukum harus adil dan membimbing manusia menuju tujuan akhir, yakni kebaikan.
Kebaikan dan keadilan akan membuka keharusan ketaatan moral untuk menjadikan
hukum sebagai penegak tata social yang harmonis dan seimbang. Rasa kebaikan dan
keadilan akan membingkai moralitas dalam penegakan hukum. Pada saat ini
masyarakat mempertanyakan kinerja aparat penegak hukum seperti dalam
pemberantasan korupsi dan merebaknya mafia peradilan. Kegagalan lembaga
peradilan dalam mewujudkan tujuan hukum telah mendorong meningkatnya
ketidakpercayaan masyarakat terhadap pranata hukum dan lembaga-lembaga hukum.
Mungkin benar apabila dikatakan bahwa perhatian masyarakat terhadap lembaga-lembaga
hukum telah berada pada titik nadir. Adanya penilaian dari masyarakat ini
menunjukkan bahwa hukum/pengadilan tidak dapat melepaskan diri struktur social
masyarakatnya hukum tidaklah steril dari perilaku–perilaku social
lingkungannya.
Oleh karena
itu wajar kiranya apabila masyarakat mempunyai opini tersendiri setiap ada
putusan pengadilan yang dipandang bertentangan dengan nilai-nilai keadilan
hidup yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat. Persoalannya tidak akan berhenti
hanya sebatas munculnya opini public, melainkan berdapak sangat luas yaitu
merosotnya citra lembaga hukum dimata masyarakat. Kepercayaan masyarakat
akan luntur dan mendorong munculnya situasi anomi. Masyarakat
kebingungan nilai–nilai mana yang benar dan mana yang salah.
Masalah
etika dan moral perlu mendapat perhatian yang seksama untuk memberikan jiwa
pada hukum dan penegaknya. Dalam rangka revitalisasi hukum untuk mendukung
demokratisasi, maka masalah moral dan etika mendesak untuk ditingkatkan fungsi
dan keberadaanya, karena saat ini aspek moral dan etika telah menghilang dari
system hukum di Indonesia. Oleh karena itu perlu pengaturan yang comprehensive
mengenai etika profesi di kalangan penegak hukum, menciptakan kemandirian
kelembagaan, berfungsinya dewan/majelis kehormatan, yang kesemuanya ini untuk
membangun profesionalisme.
2. PERMASALAHAN
Dilihat dari
uraian diatas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan pokok yang diungkapkan
lebih lanjut dalam penulisan ini, yaitu:
Bagaimanakah
peranan pentingnya kode etik profesi hukum bagi para penegak hukum?
Bagaimana pengaruh
dari factor ekonomi, politik dan social terhadap penegakan hukum di Indonesia?
Bagaimana
penegakan hukum yang berlandaskan moralitas?
3. ANALISIS
A. Pentingnya
Etika Profesi
Apakah etika, dan apakah
etika profesi itu ?
Kata
etik (atau etika) berasal dari kata “ethos” (bahasa Yunani) yang
berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Sebagai suatu subyek, etika akan
berkaitan dengan konsep yang dimilki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai
apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk
atau baik.
Oleh
karena itu dapatlah disimpulkan bahwa sebuah profesi hanya dapat memperoleh
kepercayaan dari masyarakat, bilamana dalam diri para elit profesional tersebut
ada kesadaran kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka
ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang memerlukannya.
Tanpa etika profesi, apa yang semula dikenal sebagai sebuah profesi yang
terhormat akan segera jatuh terdegradasi menjadi sebuah pekerjaan pencarian
nafkah biasa (okupasi) yang sedikitpun tidak diwarnai dengan nilai-nilai
idealisme dan ujung-ujungnya akan berakhir dengan tidak-adanya lagi respek
maupun kepercayaan yang pantas diberikan kepada para elite profesional ini.
B. Pengertian
Profesi
Berikut pengertian
profesi dan profesional menurut De George :
Profesi, adalah
pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup
dan yang mengandalkan suatu keahlian. Profesional, adalah orang yang mempunyai
profesi atau pekerjaan purna waktu dan hidup dari pekerjaan itu dengan
mengandalkan suatu keahlian yang tinggi.
Yang harus kita
ingat dan fahami betul bahwa “Pekerjaan/Profesi” dan “Profesional” terdapat
beberapa perbedaan :
Profesi :
- Mengandalkan suatu keterampilan atau keahlian khusus.
- Dilaksanakan sebagai suatu pekerjaan atau kegiatan utama.
- Dilaksanakan sebagai sumber utama nafkah hidup.
- Dilaksanakan dengan keterlibatan pribadi yang mendalam.
Profesional :
- Orang yang tahu akan keahlian dan keterampilannya.
- Meluangkan seluruh waktunya untuk pekerjaan atau kegiatannya itu.
- Hidup dari situ.
- Bangga akan pekerjaannya
Ciri-ciri Profesi:
Secara umum ada
beberapa ciri atau sifat yang selalu melekat pada profesi, yaitu :
- Adanya pengetahuan khusus, yang biasanya keahlian dan keterampilan ini dimiliki berkat pendidikan, pelatihan dan pengalaman yang bertahun-tahun.
- Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini biasanya setiap pelaku profesi mendasarkan kegiatannya pada kode etik profesi.
- Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya setiap pelaksana profesi harus meletakkan kepentingan pribadi di bawah kepentingan masyarakat.
- Ada izin khusus untuk menjalankan suatu profesi. Setiap profesi akan selalu berkaitan dengan kepentingan masyarakat, dimana nilai-nilai kemanusiaan berupa keselamatan, keamanan, kelangsungan hidup dan sebagainya, maka untuk menjalankan suatu profesi harus terlebih dahulu ada izin khusus.
C. Kode
Etik Profesi
Kode; yaitu
tanda-tanda atau simbol-simbol yang berupa kata-kata, tulisan atau benda yang
disepakati untuk maksud-maksud tertentu, misalnya untuk menjamin suatu berita,
keputusan atau suatu kesepakatan suatu organisasi. Kode juga dapat berarti
kumpulan peraturan yang sistematis.
Kode etik; yaitu
norma atau azas yang diterima oleh suatu kelompok tertentu sebagai landasan
tingkah laku sehari-hari di masyarakat maupun di tempat kerja.
D. Penyebab
Pelanggaran Kode Etik Profesi
Telah diterangkan
diatas, salah satu faktor penyebab adanya mafia peradilan adalah semakin
hilang, bahkan tidak bermaknanya lagi sebuah kode etik profesi hukum, yang
seharusnya menjadi pedoman dalam berprofesi yang menuntut adanya pertanggung jawaban
moral kepada Tuhan, diri sendiri dan masyarakat diantaranya;
· Tidak
berjalannya kontrol dan pengawasan dri masyarakat,
· Organisasi
profesi tidak di lengkapi dengan sarana dan mekanisme bagi masyarakat untuk
menyampaikan keluhan,
· Rendahnya
pengetahuan masyarakat mengenai substansi kode etik profesi karena buruknya
pelayanan sosialisasi dari pihak profesi sendiri,
· Belum
terbentuknya kultur dan kesadaran dari para pengemban profesi untuk menjaga
martabat luhur profesinya,
· Tidak
adanya kesadaran etis dan moralitas diantara para pengemban profesi untuk
menjaga martabat luhur profesinya.
E. Factor
Sosial, Ekonomi dan Politik terhadap Penegakan Hukum di Indonesia
Berkaca
dari beberapa kasus hukum yang melibatkan oknum aparat penegak hukum, yang
seyogyanya menegakkan hukum justru melanggar hukum, ada beberapa faktor yang
mempengaruhi, mulai dari turunnya integritas moral, hilangnya independensi,
adanya tuntutan ekonomi, minimnya penghasilan, lemahnya pengawasan, sampai
dengan ketidak patuhan terhadap kode etik profesi hukum yang mengikatnya.
Namun,
bila dilihat dari sudut pandang lain, kelemahan substansi kode etik bukan
berasal dari tidak adanya sanksi lebih pada ketidak mampuan norma-norma dalam
kode etik tersebut untuk menimbulkan kepatuhan pada penegak hukum dan
subtansinya. Bahkan dalam kode etik sebenarnya ada bagian khusus yang memuat
pengaturan mengenai sanksi-sanksi yang dapat diberikan kepada penegak hukum
yang melanggar kode etik, yaitu antara lain berupa teguran, peringatan,
peringatan keras, pemberhentian sementara untuk waktu tertentu, pemberhentian
selamanya dan pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi. Masing-masing
sanksi ditentukan oleh berat ringannya pelanggaran yang dilakukan oleh para
penegak hukum dan sifat pengulangan pelanggarannya. Masalah penegakan tidak
hanya masalah hukum itu sendiri, namun permasalahan kompleks ekonomi, politik,
social dan kebudayaan.
Suatu
lembaga penegak hukum akan bekerja sebagai respon terhadap peraturan-peraturan
hukum merupakan fungsi dari peraturan yang ditujukan kepadanya,
sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks dari kekuatan-kekuatan social, politik
dan lain-lain yang bekerja atasnya, serta umpan balik yang datang dari para
pemegang peran.[1] Ini
menunjukkan bekerjanya hukum dan penegaknya tidaklah steril dari masalah
non-hukum. Kekuatan-kekuatan lain, utamanya ekonomi, sosial dan politik akan
menetukan kehidupan hukum.
a. Ekonomi
Factor ekonomi
juga sangat mempengaruhi penegakan hukum di Indonesia, antara lain:
1. penghasilan
kurang mencukupi kenutuhan hidup yang wajar,
2. kebutuhan
hidup yang mendesak,
3. gaya
hidup konsumtif dan materialistis,
4. tak
dipungkiri, pola hidup seperti ini menghinggapi sebagian besar penduduk bumi.
Dibenaknya yang terpikir hanya uang,
5. rendahnya
gaji PNS,
6. sikap
mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang tidak halal.
b. Hukum
dan Politik
Selain
terlepasnya keadilan sebagai sukma hukum yang bersumber dari moral dan etika,
masalah lain yang dihadapi adalah hubungan antara hukum dan politik sebagai dua
subsistem kemasyarakatan. Dalam hal-hal penting tertentu hukum lebih banyak
didominasi oleh politik sehingga sejalan dengan melemahnya dasar etik dan
moral. Pembuatan dan penegakan hukum lebih banyak diwarnai oleh
kepentingan-kepentingan politik kelompok dominant yang sifatnya teknis, tidak
substansial dan bersifat jangka pendek.
c. Faktor
Sosial Masyarakat
Penegakan
hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam
masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat
dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Masyarakat Indonesia mempunyai
kecendrungan yang besar untuk mengartikan hukum dan bahkan
mengidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai
pribadi). Salah satu akibatnya adalah, bahwa baik buruknya hukum senantiasa
dikaitkan dengan pola prilaku penegak hukum tersebut.
Proses
peradilan bukan hanya proses menerapkan pasal-pasal dan bunyi undang-undang,
melainkan proses yang melibatkan perilaku-perilaku masyarakat dan berlangsung
dalam struktur social tertentu.
F. Etika
dan Moral tidak Melandasi Penegakan Hukum
Pada
saat ini banyak sekali orang melakukan pelanggaran hak-hak negaradan hak
masyarakat tetapi merasa tidak bersalah karena merasa tidak melanggar hukum
formal. Mereka dengan seenaknya merampok hak-hak masyarakat tetapi karena tidak
bersalah menurut hukum formal maka mereka merasa tidak melakukan kesalahan
apapun. Hukum formal kemudian dijadikan alasan untuk berlindung dari kejahatan
etik dan moral padahal hukum formal itu merupakan legalisasi dari etika dan
moral. Artinya sebenarnya hukum formal itu adalah etika dan moral yang
diformalkan. Oleh sebab itu seharusnya etika dan moral itu lebih diutanakan
dari sekedar formalitas-formalitas hukum.
G. Penegakan
Hukum yang Berlandaskan Moralitas
Penegakan
hukum adalah sebagai usaha melaksanakan hukum sebagaimana mestinya, mengawasi
pelaksanaannya agar tidak terjadi pelanggaran dan jika terjadi pelanggaran
memulihkan hukum yang dilanggar itu supaya ditegakkan kembali (restitution in
integrum).
Penegakan hukum
haruslah berlandaskan moral. Nilai moral tidak berasal dari luar diri manusia,
tapi berakar dalam kemanusiaan seseorang.
Moral sendiri
dalam istilah dipahami sebagai: Prinsip hidup yang berkenaan dengan benar dan
salah, baik dan buruk,Kemampuan untuk memahami perbedaan benar dan salah,
Ajaran atau gambaran tentang tingkah
laku yang baik, Nilai moral adalah kebaikan manusia sebagai manusia.
Dalam penegakan
hukum paling tidak mengandung 3 (tiga) unsur yang selalu harus diperhatikan,
yaitu: Kepastian hukum (Rechtssicherheit), Kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan
Keadilan (Gerechtigkeit). Dalam penegakan hukum, ketiga unsur tersebut harus
sama-sama diperhatikan secara proporsional dan seimbang. Maka secara
konsepsional kata Soekanto, inti dan arti penegakan hukum terletak pada
kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam
kaidah-kaidah yang mantap dan mengejahwanta serta sikap tindak sebagai
rangkaian penjabaran nilai-nilai yang bertujuan untuk menciptakan, memelihara
dan mempertahankan perdamaian hidup. Nilai-nilai yang penting dalam penegakan
hukum, yaitu kemanusiaan, keadilan, kepatutan dan kejujuran.
Penegakan hukum
harus dilakukan dengan tegas tanpa pandang bulu terhadap pelaku pelanggaran
hukum. Untuk itu dalam pelaksanaannya dilakukan dengan penuh dedikasi dan rasa
tanggung jawab serta integritas moral yang tangguh. Sebab dari fenomena yang
ada, karena kurangnya ketegasan atau karena kegamangan dalam menghadapi
pelanggaran hukum, maka banyak pelanggar-pelanggar hukum yang lolos dari jerat
hukum atau dengan kata lain lepas dari pengusutan. Sehingga ada pameo yang
mengatakan, bahwa “hukum yang diterapkan saat ini ibarat jaring laba-laba”,
artinya mereka yang melakukan tindak pidana dalam kategori kelas kakap lolos
dari jeratan hukum, sedangkan yang terjerat hanya kelas teri.
Diakui atau tidak,
proses penegakan hukum masih mengalami hambatan. Untuk itu diperlukan aparat
penegak hukum yang bertanggung jawab dan konsisten terhadap nilai-nilai
moral. Karena aparat penegak hukum yang bertanggung jawab dan bermoral
tidak akan berani melakukan manipulasi hukum, dan tidak akan berani
mempertaruhkan harga dirinya dengan membohongi hati nuraninya.
Standar etika dan
moral para penegak hukum bahkan cenderung menurun. Mereka menjadi kurang
responsif terhadap berbagai permasalahan bangsa dan penyakit sosial yang kian
hari semakin menjadi. Korupsi yang seharusnya diproses secara hukum demi
mewujudkan keadilan tidak jarang malah melahirkan kejahatan baru berupa
pemerasan, penyuapan, dan jual beli kasus. Kesadaran dan ketataan penegak hukum
tampaknya memudar.
Etika dalam
konteks penegak hukum adalah seperangkat prinsip moral yang membedakan apa yang
benar dari apa yang salah, apa yang pantas dan tidak untuk dilakukan oleh
seorang penegak hukum. Etika ini harus menjadi pegangan, baik dikala ia
menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penegak hukum maupun saat melaksanakan
aktivitas sehari-hari sebagai warga masyarakat.
Proses penegakan
hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto, dipengaruhi oleh lima faktor.
1. Pertama,
faktor hukum atau peraturan perundang-undangan.
2. Kedua,
faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam peroses
pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas.
3. Ketiga,
faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum.
4. Keempat,
faktor masyarakat, yakni lingkungan social di mana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi
dalam perilaku masyarakat.
5. Kelima,
faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa
manusia di dalam pergaulan hidup.
Sementara
itu Satjipto Rahardjo, membedakan berbagai unsur yang berpengaruh dalam proses
penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya pada proses, yakni yang agak
jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan criteria kedekatan tersebut, maka
Satjipto Rahardjo membedakan tiga unsur utama yang terlibat dalam proses
penegakan hukum. Pertama, unsur pembuatan undang-undang. lembaga legislatif.
Kedua, unsur penegakan hukum, polisi, jaksa dan hakim. Dan ketiga, unsur
lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan sosial.
Mengapa terjadi
pelanggaran nilai moral dan nilai kebenaran ?
Terjadinya
pelanggaran nilai moral dan nilai kebenaran karena kebutuhan ekonomi yang
terlalu berlebihan dibandingkan dengan kebutuhan psikhis yang seharusnya
berbanding sama. Usaha penyelesaiannya adalah tidak lain harus kembali kepada
hakikat manusia dan untuk apa manusia itu hidup. Hakikat manusia adalah makhluk
budaya yang menyadari bahwa yang benar , yang indah dan yang baik adalah
keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan kebutuhan psikhis dan inilah yang
menjadi tujuan hidup manusia. Kebahagiaan jasmani dan kebahagiaan rohani
tercapai dalam keadaan seimbang artinya perolehan dan pemanfaatan harta
kekayaan terjadi dalam suasana tertib, damai dan serasi (nilai etis, moral).
BAB II
Penutup
1.
KESIMPULAN
Dari
uaraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa bekerjanya hukum dan penegaknya
tidak bisa steril dari masalah non-hukum. Kekuatan-kekuatan lain, mulai dari
turunnya integritas moral, hilangnya independensi, politik, ekonomi dan social
masyarakat serta ketidakpatuhan terhadap kode etik profesi hukum yang
mengikatnya, akan mementukan penegakan hukum di Indonesia. Namun, bila dilihat
dari sudut pandang lain, kelemahan substansi kode etik bukan berasal dari tidak
adanya sanksi lebih pada ketidakmampuan norma-norma dalam kode etik tersebut
untuk menimbulkan kepatuhan pada penegak hukum dan subtansinya.
Elite
politik dan elite penegak hukum mempunyai interes (kepentingan) dalam banyak
kasus hukum terutama yang menyangkut uang dalam jumlah besar dan kepentingan
politik. Proses rekruitmen penegak hukum tidak mempertimbangkan factor moral.
Factor ini juga tidak diprioritaskan dalam menyeleksi orang yang akan menduduki
jabatan yang potensial.
Dalam
konteks ini, fakta rusaknya penegak hukum di Indonesia bisa ditafsirkan,
sebagai ambruknya nilai “sadar diri”, sehingga jatuhlah nilai dan hakekat
hukum. Penegak hukum bukan lagi “tuan” atas perbuatannya, tetapi “tuan” bagi
kekuasaan, uang dan jabatan. Haruslah disadari benar bahwa upaya menegakkan
hukum tidaklah semudah membalik telapak tangan.
Untuk
menegakkan hukum dan membumikan keadilan dalam kehidupan masyarakat, seorang
penegak hukum harus terlebih dahulu taat hukum dan berpegang pada nilai-nilai
moral etika dalam berperilaku. Ia harus mampu menegakkan keduanya, menegakkan
etika dalam dirinya dan menegakkan hukum dalam kehidupan masyarakat. Kalau
kedua hal ini terpenuhi, diharapkan keadilan akan tegak dalam kehidupan
bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
Kejadian-kejadian
yang sekarang menimpa lembaga hukum hanyalah satu proses untuk terciptanya
wibawa hukum. Sikap mawas diri merupakan langkah terpuji yang seyogyanya
dibarengi dengan upaya-upaya yang bersifat sistemik dari lembaga-lembaga hukum
mulai kejaksaan, kepolisian, kehakiman, dan organisasi penegak hukum. Sudah
saatnya lembaga-lembaga penegak hukum melakukan:
1. Pertama,
evaluasi berkesinambungan atas semua program dan kebijaksanaan yang sudah
dicanangkan, agar dapat mengurangi kendala yang dihadapi,
2. Kedua,
klarifikasi kasus-kasus besar yang diputuskan oleh pengadilan, sehingga
masyarakat mengetahui secara jelas pertimbangan hukum dan dasar-dasar hukum
yang digunakan,
3. Ketiga,
adalah orientasi visi dan misi lembaga penegak hukum agar mengutamakan keadilan
substansial. Oleh karena itu peningkatan kualitas sumber daya manusia dibidang
hukum mutlak perlu.
Selain itu,
diperlukannya pembentukan generasi penerus dengan pemahaman mengenai kode etik
profesi hukum dan pentingnya kode etik profesi hukum, dengan begitu baru bisa
terciptanya penegak hukum yang sesuai dengan kode etik profesi hukum.