Wikipedia

Hasil penelusuran

Sabtu, 28 Juli 2012

Hukum Pengangkutan Angkutan Laut


ANGKUTAN LAUT

A.  PERTANGGUNGJAWABAN DALAM PENGANGKUTAN LAUT

1.      Landasan Teori Yuridik
Pihak lain yang tidak dapat lari dari tanggung jawab hukum adalah mereka yang menerima Transmission of Rights, baik dengan cara membeli maupun menyewa kedua alat angkut yang tertimpa malapetaka itu. Tidak dikecualikan di antara keduanya adalah pihak pemerintah dan badan kementerian negara atau pihak berwenang lainnya yang terlibat dalam hal perizinan atas pembelian, sewa, atau Leasing atau Subleasing, maupun pengelolaan kedua alat angkut tersebut.
ADA banyak negara dengan sistem Anglo-Saxon, misalnya Inggris, AS, Malaysia, dan Australia, mengenal sebuah doktrin yang ditemukan dan dirumuskan agak terlambat oleh para perumusnya. Doktrin itu bernama Captain of The Ship Doctrine (Doktrin Nakhoda).
Dilihat dari namanya, doktrin tersebut diambil dari dunia pelayaran yang waktu itu memang didominasi oleh para pelaut Inggris.
Menurut "Doktrin Nakhoda" itu, seorang kapten atau nakhoda kapal bertanggung jawab secara yuridis atas semua kejadian selama memimpin suatu pelayaran. Sebab, di tangan nakhodalah segala sesuatu -termasuk informasi mengenai navigasi, bahkan cuaca sebelum dan selama pelayaran berada.
Nakhoda jugalah yang paling mengetahui kondisi kapal yang dikemudikannya, layak atau tidak untuk mengarungi lautan dan samudera yang bukan saja penuh keindahan dan keuntungan yang bakal diraih, melainkan juga tantangan dan marabahaya yang setiap kali mengancam kapal dan seluruh isinya, terutama keselamatan jiwa dan harta benda mereka yang menggunakan kapal tersebut.
2.      Kaidah Kontraktual
Sebetulnya "Doktrin Nakhoda" adalah secuil dari satu sistem yang berisi kaidah kontraktual yang sudah lama ada, jauh sebelum kegiatan dunia perdagangan di laut didominasi oleh para pelaut pedagang Inggris, dan yang akhirnya menebar pengaruh sistem hukum Anglo-Saxon itu.
Di Indonesia, dalam bidang ketatanegaraan, kaidah kontraktual itu ditulis di dalan naskah asli undang-undang dasar negara. Dengan Artistic Approach atau Hukum Sebagai Seni, mudah ditemukan spirit dari hubungan kontraktual yang esensinya persis sama mendikte pencantuman Captain of The Ship Doctrine itu ke dalam bagian Penjelasan UUD 1945.
Di dalam Bagian IV Penjelasan UUD 1945 yang mengatur sistem pemerintahan negara ditegaskan, presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara yang tertinggi. Harus diakui, belakangan kaidah kontraktual yang demikian itu mendapat kecaman atau kritik yang keras dari para pemikir politik yang mengagumi teori pemerintahan demokratis. Bagi para pengagum berat gerakan Demokratisasi, "Doktrin Nakhoda" dipandang sebagai sebuah doktrin yang mendorong Otoritarianisme.
Namun, esensinya hanyalah merupakan suatu kaidah hukum yang cukup penting dan tidak dapat ditinggalkan, apabila persoalan pertanggungjawaban hendak ditentukan akan diberikan kepada siapa dan dari siapa.
Dalam kaitan dengan berbagai kecelakaan, barangkali Perspektif Kontraktual yang terkandung di dalam Captain of The Ship Doctrine itu perlu dikritisi dalam rangka mencari jawaban atas problema yang telah & mungkin akan terjadi sebagai Kerangka Teori Berpikir Yuridik dalam hukum pengangkutan pada umumnya, spesifikasinya pengangkutan laut.
Apabila rujukan utama pertanggungjawaban itu Captain of The Ship Doctrine, hanya ada satu pihak yang harus memikul semua pertanggungjawaban, termasuk beban pembuktian dan ganti rugi. Pihak yang diminta pertanggungjawabannya itu adalah nakhoda atau kapten. Hal itu sudah tentu akan dipandang sangat tidak masuk akal (unreasonable) dan jauh dari keadilan (fairness).
3.      Penentuan Pihak Ketiga
Dalam Perspektif Kontraktual, hukum yang sudah barang tentu jauh lebih tinggi kedudukannya dari sekadar sebuah doktrin (Supremacy of Law), mengisyaratkan perlu adanya subjek atau pihak yang terlibat di dalam suatu hubungan.
Dalam kontrak pengangkutan, para pihak yang terlibat di dalam hubungan hukum itu adalah pihak yang berjanji mengangkut/pengangkut dan pihak yang diangkut atau pihak yang menggunakan jasa pengangkutan.
Pihak ketiga pertama adalah pihak yang mendelegasikan pertanggungjawaban kepada nakhoda/kapten menurut hukum. Oleh karena itu harus turut bertanggung jawab.
Pihak ketiga lainnya yang diburu dan dituntut serta didikte oleh hukum agar tidak melepaskan tanggung jawab dalam kecelakaan, tidaklah sukar ditentukan. Pihak ketiga tersebut bisa saja pembuat kapal.
Di balik pihak ketiga tersebut, ada Issue Product Liability. Sifat dari pertanggungjawaban itu adalah mutlak (absolut), tidak bisa dieksonerasikan.
Pihak ketiga berikutnya yang tidak dapat lari dari tanggung jawab hukum adalah mereka yang menerima Transmission of Rights, baik dengan cara membeli maupun menyewa alat angkut yang tertimpa malapetaka tersebut.
Tidak dikecualikan di antara keduanya adalah pihak pemerintah dan badan kementerian negara atau pihak berwenang lainnya yang terlibat dalam hal perizinan atas pembelian, sewa, atau Leasing atau Subleasing, maupun pengelolaan alat angkut tersebut.
Selain badan-badan negara yang berwenang dalam hal perizinan, ada juga negara yang terlibat dalam menjamin keselamatan pelayaran, penerbangan, navigasi, dan prakiraan cuaca dalam bisnis pengangkutan tersebut.
Dalam Perspektif Kontraktual, badan-badan itu tidak dapat lari begitu saja dari tanggung jawab yuridis yang berada di dalam genggaman atau penguasaan/otoritas atau kewenangan mereka.
Tidak dikecualikan dalam pengertian pihak ketiga, menurut hukum, adalah pihak perusahaan asuransi yang menerima peralihan risiko, baik atas harta benda maupun jiwa yang dipertanggungkan oleh pihak pengangkut dan yang menggunakan jasa angkutan dengan cara membayar premi asuransi yang biasanya telah disatupadukan dalam karcis penumpang yang dibeli.

B.  KLAIM KARGO, SATU ASPEK HUKUM DALAM PENGANGKUTAN LAUT

Transportasi laut sebagai salah satu pilar utama untuk pengangkutan perdagangan nasional maupun internasional yang menghubungkan Daerah atau Negara (Eksportir) dan Daerah dan atau Negara (Importir) masih merupakan pilihan utama sampai sekarang ini diakrenakan pengangkutan melalui laut relative lebih murah dengan kapasitas volume pengangkutan yang besar.
Pihak-pihak yang terlibat dalam pengangkutan laut pada prinsipnya adalah Shipper dan atau Eksportir sebagai Pengirim Barang, Shipping Line sebagai Pengangkut, Consignee dan atau Importir sebagai Penerima Barang disamping adanya Trucking, Container Freight Station/Warehousing & Pelabuhan (Port Authority).
Salah satu persengketaan yang sering timbul di dalam pengangkutan laut adalah adanya kerusakan barang yang menimbulkan hak tuntutan ganti rugi dari pemilik barang kepada pengangkut. Timbulnya claim-claim dari pemilik barang berupa kerusakan barang menjadi bagian yang tak kalah penting untuk diperhatikan oleh para pihak yang terlibat dalam proses pengangkutan untuk dapat menentukan pihak mana yang benar-benar bertanggung jawab terhadap tuntutan ganti rugi atas kerusakan barang tersebut.
1.      Menentukan Pihak Yang Bertanggung Jawab
untuk dapat menetukan pihak mana yang bertanggung jawab maka harus dilihat Proses Operasional dari barang Eksportir sejak dari gudangnya/gudang CFS (Container Freight Station - Konsolidasi) sampai dengan gudang Importir/gudang CFS – Dekonsolidasi). Secara garis besar proses operasionalnya adalah :
Pertama, Eksportir akan memuat (Stuffing) kargonya kedalam Kontainer di gudangnya/gudang CFS, pihak yang terlibat disini adalah Eksportir atau Warehousing.
Kedua, kargo dibawa dengan truk ke Container Yard pelabuhan muat (Port of Loading), pihak yang terlibat adalah Perusahaan Trucking & Pelabuhan Muat.
Ketiga, kargo dimuat ke atas kapal & dibongkar di Container Yard Pelabuhan Bongkar (Port of Dischange), yang terlibat adalah Perusahaan Pelayaran (Shiping Line) & Pihak pelabuhan Bongkar.
Keempat, kargo dibawa ke gudang dengan truk menuju ke gudang Importir/Gudang CFS, pihak yang terlibat adalah Perusahaan Perusahaan Trucking dan Importir/Warehousing. Untuk melaksanakan pengangkutan tersebut maka pihak Eksportir & Importir biasanya akan mensubkontrakkan ke satu pihak yaitu Freight Forwarder & Freight Forwarder akan mensubkontrakkan ke pihak-pihak yang terlibat dalam proses pengangkutan seperti disebut dalam tahap pertam sampai dengan tahap keempat. Melihat dari proses tersebut maka potensi terjadinya kerusakan kargo ada pada setiap tahap tersebut & pihak-pihak yang terlibat tersebut adalah pihak yang berpotensi untuk bertanggung jawab.
Oleh karenanya untuk dapat menetukan pihak yang bertanggung jawab atas kerusakan barang maka secara tekhnis operasonal dalam setiap proses peralihan dari satu pihak ke pihak lainnya (misal dari pihak Trucking ke pihak Pelabuhan Muat) akan diterbitkan dokumen yang melindungi proses peralihan tersebut apakah kargo diterima dari pihak Trucking ke pihak Pelabuhan Muat dalam kondisi baik (Sound Condition) atau ada kerusakan. Jika dalam keadaan baik maka tanggung jawab beralih ke pihak pelabuhan muat atau apabila kargo dalam kondisi ada kerusakan maka ada dokumen yang menyatakan bahwa kargo dalam kondisi rusak dalam penguasaan pihak Trucking sehingga pihak Pelabuhan Muat tidak bertanggung jawab.
Oleh karena itu setiap pihak yang terlibat dalam proses peralihan kargo harus         berhati-hati dengan mengadakan pengecekan yaitu dalam kondisi apakah kargo sebelum ada didalam penguasaanya. Karena jika dalam proses peralihan tersebut kondisi kargo dalam keadaan ada kerusakan atau rusak tetapi dinyatakan dalam keadaan baik maka resiko & tanggung jawab akan beralih pada pihak-pihak berikutnya.
Pada prakteknya tuntutan ganti atau klaim kargo akan diajukan kepada pihak yang terakhir menguasai kargo tersebut atau dengan melihat karakeristik kerusakannya misal apabila ada kerusakan basah (Wet Damage) kepada pihak pelayaran.
2.      Pengajuan Klaim & Problematik Pembuktian
Shipper dan atau Eksportir atau Consignee dan atau Importir pada umunya akan mengasuransikan kargonya, sehingga apabila terjadi kerusakan sesuai dengan yang diperjanjikan di dalam polis maka asuransi akan memberikan ganti kerugian dan berdasarkan Subrogation Letter, maka pihak Shipper/Consignee's Insurance akan mengajukan tuntutan ganti rugi ke pihak yang berdasarkan pembuktiannya dianggap bertanggung jawab. Di dalam prakteknya perusahaan asuransi akan menguasakan kepada Recovery Agent.
Yang menjadi persoalan adalah bahwa pihak yang dituntut, dalam hal ini akan diambil contoh missal Shipping Line dengan asumsi bahwa tanggung jawabnya adalah Tacke to Takle merasa bahwa ketika barang dalam penguasaanya tidak terjadi peristiwa atau incident yang menimbulkan kerusakan pada barang. Berdasarkan hal tersebut maka Shipping Line sebagai Carrier tentu akan membuktikan bahwa ketika kargo di atas kapal tidak terjadi peristiwa apapun yang mengakibatkan kerusakan dan atau kerugian (Loss & Damage). Sebab di dalam prakteknya apabila terjadi suatu peristiwa di atas kapal termasuk jika berakibat pada rusaknya barang misal kapal bocor sehingga kargo basah, atau terkena topan sehingga kargo tercebur ke laut (Loss Over Board) maka Nahkoda Kapal (Master of Vessel) akan menerbitkan Master Statemant yang menyatakan adanya peristiwa tertentu, waktu, tempat & akibatnya.
Seperti disebutkan bahwa setiap peralihan dari satu pihak ke pihak lain ada dokumen yang melindunginya & apabila dikaitkan dengan kasus tuntutan ganti rugi ke Pelayaran (Shipping Line) diatas maka apabila kargo pada saat diterima oleh Shipping Line dianggap Sound Condition maka pihak pelayaran sebagai Carrier akan menerbitkan Clean Bill of Lading. Hal tersebut dianggap oleh pihak yang mengajukan klaim bahwa Carrier menerima kargo dalam kondisi baik tanpa pengecualian & apabila pada saat dibongkar ada kerusakan maka kerusakan itu dianggap terjadi pada saat kargo ada dalam penguasaan Pelayaran (Shipping Line) sebagai Carrier (In Carrier Care & Custody). Tentu terhadap hal ini pelayaran sebagai Carrier akan mengacu pada klausul-klausul yang terdapat di dalam Bill of Lading yaitu dengan kemungkinan bahwa Carrier menganggap bahwa kargo sebelum dimuat di atas kapal dalam kondisi Latent Defect (cacat tersembunyi) yang tidak dapat diketahui oleh Carrier dan atau agennya dengan pengamatan yang sewajarnya (Due Diligence), atau Carrier menganggap bahwa Shipper lalai menyediakan kargo yang layak untuk diangkut (Sea Worthy).
Hal tersebut menjadi satu contoh yang pada umunya dimana para pihak di dalam proses pengangkutan akan selalu merasa bahwa pihanya tidak bersalah terhadap kerusakan dan atau kerugian terhadap kargo ketika di dalam penguasaannya. Hal ini terjadi dikarenakan kekurangcermatan & kehati-hatian proses pengecekan pada proses peralihan kargo dari satu pihak ke pihak lain untuk menentukan kondisi kargo dalam keadaan baik atau ada kerusakan sebelum beralih ke pihak berikutnya.
Untuk memperbaiki keadaan tersebut maka hal-hal yang perlu dilakukan adalah :
Pertama, meningkatkan kecermatan & kehati-hatian pengecekan kargo di dalam proses peralihan dari satu pihak ke pihak lainnya sehingga apabila ada kerusakan bisa segera diketahui & ditentukan pihak yang sebenarnya harus bertanggung jawab.
Kedua, memperjelas hukum perjanjian yang disepakati oleh pihak pemilik barang dengan pengangkut yang berkaitan dengan klausul pengajuan klaim dan tuntutan ganti rugi yang memperjelas jenis-jenis kerusakan seperti apa yang bisa dituntut & dipertanggungjawabkan oleh pemilik barang kepada pengangkut.




   

Description of Goods Container



Description of Goods container :

Adalah perincian barang. Description of Goods ini terdapat didalam Packing List (Lengkap) dan Bill Of Lading. Hanya saja penulisan data Description of Goods pada Bill Of Lading lebih sederhana atau hanya garis besarnya saja. Misalnya, didalam Packing List tertulis 2 drum minyak tanah, 5 jerigen bensin, 10 kalen g oli bekas. Maka pada Bill Of Lading cukup ditulis 17 Packages (total kemasan) of minyak tanah, bensin and oli bekas.

G.W. :
G.W. adalah singkatan dari Gross Weight. Yaitu berat kotor dari berat kemasan dan berat barang itu sendiri. Contoh berat barang itu 2 Kgs dan berat kemasannya 0.5 Kgs maka G.W. : 2.5 Kgs

N.W. :
N.W. adalah singkatan dari Net Weight / berat bersih yaitu berat barang sebelum di kemas.

LCL : 
Less than Container Loaded yaitu jenis pengiriman barang tanpa menggunakan container dengan kata lain parsial. Jika kita menggunakan jenis pengiriman LCL, maka barang yang kita kirim itu ditujukan ke Gudang penumpukan dari shipping agent. Lalu dari pihak Gudang tersebut akan mengumpulkan barang2 kiriman LCL lain hingga memenuhi quota untuk di loading / di muat ke dalam container.

FCL : 
Full Container Loaded yaitu jenis pengiriman barang dengan menggunakan container. Walaupun quantity barang tersebut lebih pantas dengan mode LCL, tetapi jika shipper mengirimkan barangnya dengan menggunakan container maka jenis pengiriman ini disebut dengan FCL. Pengiriman barang dengan mode FCL maka kita harus mendatangkan container ke Gudang kita untuk process stuffing (proses pemuatan barang). Setelah stuffing selesai, container itu kita segel dan kita kirimkan ke Tempat Penumpukan Peti Kemas di pelabuhan. Proses bagaimana cara mendatangkan container ke gudang kita akan di jelaskan pada bab yang lain.

CFS : 
Container Freight Station yaitu mode pengiriman dari Gudang LCL Negara asal sampai ke Gudang LCL Negara tujuan. CFS-CFS menandakan bahwa mode pengiriman barang tersebut dengan cara LCL.

CY :Container Yard yaitu mode pengiriman dari Tempat Penumpukan Peti Kemas Negara asal sampai ke Tempat Penumpukan Peti Kemas Negara tujuan. CY-CY menandakan mode pengiriman barang tersebut secara FCL.

Notify Party : 

Notify Party adalah pihak kedua setelah Consignee yang berhak untuk di beritahu tentang adanya suatu pengiriman dan penerimaan barang export / import. Dalam prakteknya, Nama dan Alamat Notify Party ini sama dengan nama dan Alamat Consignee. Tetapi ini semua tergantung dari perjanjian awal antara pihak Shipper dan Importeer. Nama dan alamat lengkap Notify Party harus tertulis jelas didalam dokumen2 seperti : Bill Of Lading, Packing List, Commercial Invoice, COO. Atau jika Notify Part sama dengan Consignee maka cukup ditulis SAME AS CONSIGNEE.

Shipping Mark & Number :

Shipping Marks & Number adalah jumlah carton dan tanda pengiriman yang tercantum di kemasan barang. Data Shipping Marks & Number ini tercantum didalam Packing List dan Bill Of Lading.

Consignee :

Consignee adalah Importeer atau si Penerima barang. Nama dan alamat lengkap Consignee harus tertulis jelas didalam dokumen2 seperti : Bill Of Lading, Packing List, Commercial Invoice, COO, PEB (Pemberitahuan Export Barang), PIB (Pemberitahuan Import Barang ketika Importir mengurus proses pengeluaran barang dari Pelabuhan).


Sistem Operasi Petikemas


Dalam sistem Operasi Petikemas yang dilakukan harus ditinjau dari beberapa aspek antara lain :
1. Dari sudut pandang Pemilik Kapal
2. Dari sudut pandang Pengelolan Terminal Petikemas
A. Dari sudut pandang Pemilik Kapal
Sasaran dari sudut pandang Pemilik Kapal adalah untuk Keuntungan maksimum melalui pendapatan maksimu. Untuk mencapai sasaran tersebut beberapa kinerja operasional yang harus dicapai antara lain:
- Kapal termuati secara optimal (mendekati penuh) sehingga biaya pengangkutan dan keuntungan dapat sebanding dengan muatan yang dibawa oleh kapal.
- Jarak tempuh maksimum untuk memaksimalkan siklus kapapl dalam mengirim barang ke suatu tempat tujuan. Makin cepat siklus kapal dalam mengirim barang dalam satu waktu maka barang yang dikirim juga akan semakin banyak yang tentunya berpengaruh juga pada pendapatan.
- Biaya di dermaga sekecil mungkin untuk mengurangi biaya operasional dan mengurangi waktu siklus kapal dipelabuhan
- Waktu kunjungan kapal di pelabuhan sependek mungkin untuk menperpendek waktu siklus kapal di Pelabuhan
Selain dari itu untuk mencapai kinerja yang baik Pemilik Kapal juga harus ditunjang oleh Tingkat Pelayanan di Pelabuhan yang baik yang indikatornya antara lain:
- Waktu tunggu dermaga ditekan sependek mungkin
- Biaya di Pelabuhan sekecil mungkin
- Kegiatan bongkar muat barang secepat mungkin
- Waktu sandar kapal sependek mungkin
B. Dari sudut pandang Pengelolan Terminal Petikemas
Tujuannya adalah untuk mendapatkan pendapatan dan keuntungan semasimal mungkin.
Sehingga kinerja usaha yang diinginkan adalah:
- Throughput petikemas sebanyak-banyaknya
- Jumlah investasi penangan petikemas harus seminim mungkin
- Biaya Operasi penanganan petikemas seminim mungkin
Kinerja Operasional yang akan dicapai dalam pelayanan ini adalah:
- Bongkar muat kapal secepat mungkin sehingga bertambah banyak petikemas yang dapat dilayani dalam satu satuan waktu
- Lamanya kapal bersandar sependek mungkin sehingga siklus bersandarnya kapal pengangkut Petikemas akan cepat yang mengakibatkan traffik petikemas akan naik.
- Tingkat kecelakaan dan kerusakan sekecil mungkin untuk memberikan pelayanan terbaik kepada konsumen tanpa komplain dan permintaan ganti rugi atas kerusakan barang ayng di handling yang tentu akan mengurangi pendapatan.
- Cepat tanggap akan kebutuhan peralatan dan kebutuhan lain untuk mempercepat handling petikemas.
- Dapat menerapkan tarip serendah-rendahnya
Bongkar muat barang yang didermaga adalah suatu siklus kegiatan dari membongkar kapal dari kapal dan mengantarkannya ketujuan selanjutnya menghimpun barang didermaga yang kemudian diankut naik kekapal






Siklus ini dapat dipersingkat dengan melakukan beberapa kegiatan yang tidak terpengaruh kegiatan lain contohnya pada gambar dibawah ini:




Seperti yang terlihat diatas penghematan waktu yang dilakukan dapat mengurangi waktu proses bongkar muat barang diantanranya dengan mempersiapkan barang muatan sebelum kapal sampai tampa menunggu kapal sandar terlebih dahulu (nomor 1)
Barang yang dikapalkan sudah memiliki kemasan yang baik sehingga barang tidak perlu lagi diurai / atau disusun untuk memudahkan diangkut. Contoh kemasan alat antara lain adalah petikemas.
Disini dapat kita simpulkan bahwa yang berperan penting dalam kecepatan siklus bongkar muat adalah kemasan barang sehingga berbagai cara telah ditempuh untuk meningkatkan kinerja ini melalui berbagai macam kemasan cara semacam ini biasa disebut Paletisasi atau Unitisasi

Berdasarkan hal inilah maka dibuatlah Petikemas sehingga penghimpunan barang penyatuan kemasan barang, penanganan barang kekepal, keamanan barang serta jaminan akan keuntuhan barang yang dikirim tetap terjamin.



Keunggulan menggunakan Petikemas:
1. Mampu meningkatkan kecepatan bongkar muat
2. Muatan tidak disentuh langsung pada saat perpindahan sarana angkut
3. Selama dalam perjalanan muatan lebih terlindungi
4. Pembungkus muatan tidak perlu sangat kuat
5. Dapat ditingkatkan ke arah otomatis
Konsekuensi
1. Membutuhkan modal besar untuk memulai
2. Membutuhkan sumber daya manusia dan manajer yang mempunyai ketrampilan tinggi
3. Berpotensi terjadinya pengurangan tenaga
4. Pelabuhan yang dikunjungi kapal pengangkut petikemas lebih sedikit
5. Penguasaan pangsa pasar oleh perusahaan raksasa
CARA PENGAPALAN BARANG DENGAN PETIKEMAS
MENURUT PENGGUNAAN RUANG PETIKEMAS
a. Full Container Load (FCL) artinya satu contaIner hanya memuat barang-barang dari satu 
pengirim (SHIPPER) dan penerima barang (CONSIGNEE)

b. Less than Container Load (LCL) artinya satu container memuat barang-barang dari lebih dari satu pengirim (SHIPPER) atau lebih dari satu penerima barang (CONSIGNEE)


MENURUT LOKASI PENERIMAAN/PENYERAHAN BARANG
a. Container Yard (CY) yaitu lokasi tempat penumpukan petikemas
b. Container Freight Station (CFS) yaitu lokasi tempat pengepakan dan pembongkaran isi dari Petikemas.
MENURUT BATAS LOKASI PENGGUNAAN PETIKEMAS
a. Dari pintu pengirim ke pintu penerima (Door to door)

b. Dari pintu ke pelabuhan tujuan (Door to port)

c. Dari pelabuhan muat hingga pelabuhan bongkar (Port to port)

d. Dari pelabuhan muat higga ke pintu penerima (Port to door)





Shipping Document



  Dokumen Kapal

Secara kronologis diuraikan jenis-jenis dokumen muatan kapal yang lazim digunakan dalam pengapalan muatan kapal General Cargo Carrier dan disamping itu juga akan diberikan beberapa jenis dokumen bagi pemakaian fasilitas kapal:

1. Shipping Order (S/O),
yang juga disebut shipping Instruction (S/I) atau Booking Note, adalah dokumen yang menjadi sumber dari semua jenis dokumen muatan kapal niaga.

Dalam dokumen Booking Note ini pengitim muatan menyatakan kehendaknya -secara tertulis- untuk mengapalkan muatan tertentu dari pelabuhan pemuatan tertentu dan ditujukkan kepelabuhan tujuan tertentu (atau yang akan ditentukan kemudian), menggunakan kapal tertentu (tepatnya: sailing tertentu).

Shipping Instruyction 
merupakan sumber pengapalan, oleh karena itu kalau S/I sudah diterima oleh agen pelayaran (accepeted by the agent0 maka kedua belah pihak yaitu shipper dan carrier terikat kepada kesepakatan tersebut, yaitu pengapalan muatan. kalau shipper membatalkan pengapalannya, carrier yang bersangkutan mempunyai hak atas ganti rugi yang dinamakan dead freight. Sebaliknya kalau carrier membatalkan sailing, harus mengganti ganti rugi kepada shipper.


2. Resi Gudang, 
yaitu surat tanda muatan yang dikeluarkan oleh kepala gudang yang menerima muatan tersebut dari shipper. Biasanya shipper menyerahkan muatan yang akan dikapalkan itu satu dua hari sebelum saat kedatangan kapal yang bersangkutan dipelabuhan pemuatan, untuk melakukan pemuatan.

Resi Gudang dibuat dalam lembar (atau lebih, sesuai kebutuhan) menggunaan warna yang berbeda-beda; masing-masing lembar mempunyai fungsi yang berbeda sbb:

* Lembar ke-1 (asli), warna putih, sebagai surat Muat, yaitu surat penterahan muatan dari gudang ke perwira kapal;

* Lembar ke-2, kuning, sebagai mate's receipt (resi mualim) asli, setelah muatan diterima oleh mualim dan segala kondisi muatan dicatat disitu, untuk shipper;

* Lembar ke-3, warna merah jambu, sebagai Tembusan Resi Mualim, diserahkan kepada agen setempat sebagai dasar pembuatan bill of Lading;

* Lembar ke-4, warna hijau, untuk arsip kapal;

* Lebar ke-5 dan lembat ke-6, warna putih, untuk eperluan lainnya.


Lembar-lembar kedua dan seterusnya menggunakan kertas tipis sedangkan lembar kesatu menggunakan kertas HVS.

Perusahaan-perusahaan pelayaran tertentu menggunakan formulir yang merupakan satu set dari mulai S/O sampai Resi Mualim.

3. Bill of Lading (B/L), 
yaitu surat perjanjian pengangutan antar pengangkut dengan pengirim muatan. Dokumen ini juga disebut konosemen atau surat muatan.

4. Manifest, 
yaitu daftar muatan yang dimuat oleh kapal pada pelabuhan-pelabuhan muatan dan akan dibongkar dipelabuhan-pelabuhan tujuan masing-masing. Ada dua jenis manifest yang sering digunakan yaitu Cargo Manifest dan Freight Manifest (dalam hal-hal tertentu sering digabung menjadi Cargo & Freight Manifest).

5. Daftar Pembongkaran (Outturn Report), 
yaitu daftar yang memuat barang-barang yang dibongkar dipelabuhan tujuannya masing-masing.

6. Damaged Cargo List, 
yaitu daftar yang memuat muatan yang mengalami kerusakan.

7. Short & Over-landed List (Daftar kekurangan dan kelebihan Pembongkaran),
yaitu daftar yang memuat barang-barang yang kurang dibongkar dan/atau kelebihan dibongkar.

8. Cargo Tracer, 
yaitu dokumen yang digunakan untuk melacak muatan yang kurang dibongkar dipelabuhan tujuannya dan diperkiraan terbawa ke (overcarried to) pelabuhan berikutnya atau kurang dimuat (short shipped) dari pelabuhan pemuatannya. Sehubungan dengan itu maka Cargo Tracer dikirimkan ke semua pelabuhan yang telah dan akan disinggahi oleh kapal yang bersangkutan (juga dikirimkan kepada nahkoda yang bersangkutan).

9. Survey Report (disebut juga Claim Constatering Bewijs,CCB), 
yaitu dokumen yang menyebutkan kerusakkan atas muatan yang dibongkar dipelabuhan tujuannya.

Dewasa ini perusahaan pelayaran lebih menyukai penggunaan Survey Report karena sifat pelaporannya adalah fact finding (melaporkan kerusakkan yang ditemukan), berbeda dengan CCB yang selain mengemukakan fakta juga memberikan taksiran mengenai besarnya taksiran dan pemberian ganti rugi.

10. Delivery Report, 
yang disebut juga Except Bewijs (EB), yaitu laporan mengenai collie muatan yang hilang (tidak dibongkar dipelabuhan tujuannya dan tida dapat ditemukan).

11. Delivery Order (D/O) 
atau disebut juga surat perintah penyerahan barang atau surat penyerahan yang diberikan oleh agen perusahaan pelayaran kepada kepala gudang dimana barang disimpan, untu menyerahkan muatan yang bersangkutan kepada pembawa surat tersebut.

D/O dapat dikeluarkan oleh agen kalau consignee menyerahkan B/L asli yang bersangkutan, atau kalau dokumen ini belum ada, dapat diganti dengan B/L copy yang didukung oleh garansi bank.

Vessel : Kapal

Feeder Vessel :
Kapal pengangkut container dengan kapasitas kecil yang mengangkut container dari pelabuhan muat menuju pelabuhan transit untuk di pindah ke Mother Vessel. Contoh : dari Tg. Priok menuju ke Singapore atau Hongkong….dsb

Mother Vessel : 
Kapal pengangkut dengan kapasitas besar yang mengangkut container dari pelabuhan transit menuju pelabuhan tujuan. Catatan : Jika pengiriman barang dari pelabuhan muat (misalnya : Tg. Priok, Jakarta ) menuju pelabuhan bongkar (misalnya : Busan, Korea) dengan menggunakan 1 Kapal saja maka tidak ada istilah Feeder Vessel dan Mother Vessel. Istilah Feeder Vessel dan Mother Vessel jika pengiriman barang dari pelabuhan muat ke pelabuhan bongkar tersebut menggalami pergantian kapal. Misalnya : Pelabuhan muat Tg. Priok dan Pelabuhan bongkarnya Los Angeles, California. Sementara route pengiriman itu melalui Jakarta – Singapore menggunakan Kapal YM Glory dan Singapore – Los Angeles, CA mengunakan Kapal Hanjin Sao Paulo. Maka Feeder Vessel nya adalah YM Glory dan Mother Vesselnya adalah Hanjin Sao Paulo.

Voyage :
Nomor Keberangkatan Kapal yang biasa disingkat dengan V. atau Voy.. Nomor keberangkatan harus selalu ada dibelakang nama Kapal. Contoh : YM Glory V. 23 artinya Nama Kapal YM Glory dengan nomor keberangkatan kapal (Voyage) 23.

makalah Ilmu Hukum

Perundang Undangan Nasional



BAB I
Pendahuluan
PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL
1.      Peraturan perundang-undangan Indonesia
Peraturan perundang-undangan, dalam konteks negara Indonesia, adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.
2.      Jenis dan Hierarki
Hierarki maksudnya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berikut adalah hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia menurut UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:
UUD 1945, merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. UUD 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ketetapan MPR Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)Peraturan Pemerintah (PP) Peraturan Presiden (Perpres) Peraturan Daerah (Perda), termasuk pula Qanun yang berlaku di Nanggroe Aceh Darussalam, serta Perdasus dan Perdasi yang berlaku di Provinsi Papuadan Papua Barat.
Dari Peraturan Perundang-undangan tersebut, aturan yang mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan Daerah. Undang Undang Dasar 1945 UUD 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan. Naskah resmi UUD 1945 adalah: Naskah UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal Naskah Perubahan Pertama, Perubahan Kedua, Perubahan Ketiga, dan Perubahan Keempat UUD 1945 (masing-masing hasil Sidang Umum MPR Tahun 1999, 2000, 2001, 2002). Undang-Undang Dasar 1945 Dalam Satu Naskah dinyatakan dalam Risalah Rapat Paripurna ke-5 Sidang Tahunan MPR Tahun 2002 sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa Ada Opini.Undang UndangUndang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.


3.      Materi muatan Undang-Undang adalah:
Mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 yang meliputi: hak-hak asasi manusia, hak dan kewajiban warga negara, pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara, wilayah dan pembagian daerah, kewarganegaraan dan kependudukan, serta keuangan negara.
Diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah sama dengan materi muatan Undang-Undang.
4.      Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Materi muatan Peraturan Pemerintah adalah materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
5.      Peraturan Presiden
Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden. Materi muatan Peraturan Presiden adalah materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.
6.      Peraturan Daerah
Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah (gubernur atau bupati/walikota).
Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
7.      Pengundangan Peraturan Perundang-undangan
Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah.
Bahasa peraturan perundang-undangan pada dasarnya tunduk kepada kaidah tata Bahasa Indonesia, baik yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun pengejaannya. Namun demikian bahasa Peraturan Perundang-undangan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan azas sesuai dengan kebutuhan hukum. Penyerapan kata atau frasa bahasa asing yang banyak dipakai dan telah disesuaikan ejaannya dengan kaidah Bahasa Indonesia dapat digunakan, jika kata atau frasa tersebut memiliki konotasi yang cocok, lebih singkat bila dibandingkan dengan padanannya dalam Bahasa Indonesia, mempunyai corak internasional, lebih mempermudah tercapainya kesepakatan, atau lebih mudah dipahami daripada terjemahannya dalam Bahasa Indonesia.
8.      Ketetapan MPR
Perubahan (Amandemen) Undang-Undang Dasar 1945 membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang MPR. MPR yang dahulu berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, kini berkedudukan sebagai lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya (seperti Kepresidenan, DPRDPD,BPKMA, dan MK).
Dengan demikian MPR kini hanya dapat menetapkan ketetapan yang bersifat penetapan, yaitu menetapkan Wapres menjadi Presiden, memilih Wapres apabila terjadi kekosongan jabatan Wapres, serta memilih Presiden dan Wapres apabila Presiden dan Wapres mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama.



9.      Makna dan Pentingnya Perundang-undangan
Dalam pergaulan hidup sehari hari, kita senantiasa diatur oleh peraturan, baik yang tertulis juga peraturan tidak tertulis. Demikian juga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Semua kegiatan warganegara diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku
Makna Pentingnya Peraturan Perundangan Nasional bagi warga negara. 
Peraturan perundang-undangan nasional adalah peraturan tertulis yang telah dibuat oleh lembaga yang berwenang sebagai pedoman warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Lembaga yang berwenang membentuk perundang-undangan nasional adalah Pemerintah (presiden) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Dalam kehidupan bermasyarakat peraturan perundangan sangat penting karena berfungsi mengatur kehidupan warga negara dalam menciptakan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Misalnya dalam penerapan undang-undang berlalu lintas. Jika masyarakat tidak mentaati peraturan berlalu lintas maka akan terjadi ketidak tertiban, kemacetan bahkan akan terjadi tabrakan.Sebaliknya jika masyarakat tertib dan mentaati peraturan maka akan tercipta keteraturan dan kenyamanan.
Di Negara kita (Indonesia) terdapat hukum tidak tertulis dan hukum tertulis. Keduanya berfungsi untuk mengatur warga negara dalam kehidupan bermasyrakat, berbangsa dan bernegara. Hukum tidak tertulis adalah norma atau peraturan tidak tertulis yang telah dipakai oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari secara turun temurun dan tidak dibuat secara resmi oleh lembaga yang berwenang. Misalnya norma kesopanan, norma kesusilaan, norma adat.
Hukum tertulis adalah aturan dalam betuk tertulis yang dibuat oleh lembaga yang berwenang . Misalnya peraturan perundang-undangan nasional di negara kita. Menurut Tap III/MPR/2000 tentang tata urutan perundang –undangan di negara Indonesia , dinyatakan sebagai berikut: UUD 1945, Ketetapan MPR (Tap MPR), Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang (PERPU), Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden (Kepres), Peraturan Daerah (Perda).
Tata urutan perundangan tersebut sebagai pedoman untuk pembentukan peraturan di bawahnya. Jadi setiap peraturan yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan aturan yang ada di atasnya. Jika aturan di bawahnya bertentangan dengan peraturan yang ada di atasnya maka secara otomatis peraturan yang ada dibawah tersebut gugur (tidak berlaku) demi hukum.Untuk memperjelas tentang Tata urutan Peraturan Perundangan, perhatikan Skema Tata Urutan Peraturan Perundangan berikut ini sesuai dengan Tap.III/MPR/2000

UUD 1945 adalah hukum dasar tertulis yang terdiri dari pembukaan (empat alinea) dan pasal-pasal (berjumlah 37 pasal). UUD 1945 yang sekarang dipakai dalam penyelenggaraan negara Republik Indonesia telah mengalami 4 kali amandemen (perubahan) yang dilakukan oleh Majlis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Ketetapan MPR adalah peraturan yang dibentuk oleh majlis permusyawaratan rakyat untuk melaksanakan UUD 1945. Bentuk peraturan yang dihasilkan oleh lembaga MPR /berupa ketetapan (Tap), juga berbentuk keputusan MPR Ketetapan MPR adalah putusan Majelis yang mempunyai kekuatan hukum mengikat keluar atau kedalam majelis (seluruh warga negara RI).

Keputusan MPR adalah putusan Majelis yang mempunyai kekuatan hukum mengikat ke dalam (anggota majelis)
Undang-undang yaitu bentuk peraturan perundangan yang diadakan untuk melaksanakan undang-undang dasar serta ketetapan MPR. Lembaga yang berwenang membentuk Undang-udang adalah lembaga DPR dan Pemerintah (Presiden). Untuk lebih jelas lihat UUD 1945 pasal 5 ayat 1 dan pasal 20 ayat 3
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Perpu ditetapkan oleh Presiden jika negara dalam keadaan bahaya, tanpa melalui persetujuan DPR, tetapi DPR tetap mengawasi pelaksanaan Perpu tersebut. Untuk lebih jelas silahkan lihat UUD 1945 pasal 22.Peraturan Pemerintah yaitu peraturan yang ditetapkan oleh Presiden yang bertujuan melaksanakan perintah undang-undang. Yang dimaksud dengan pemerintah adalah pemerintah pusat ( ibu kota negara) dan pemerintah daerah (provinsi). Jadi peraturan pemerintah terdiri dari peraturan pemerintah pusat dan peraturan pemerintah daerah. Contoh peraturan pemerintah pusat dapat berupa peraturan presiden, Keputusan menteri dan lainnya.  Contoh peraturan daerah yakni peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh daerah provinsi maupun tingkat kota atau kabupaten.
Keputusan presiden(Keppres) yaitu keputusan yang dibuat oleh presiden. Berfungsi antara lain mengatur pelaksanaan administrasi negara dan administrasi pemerintahan.
Peraturan daerah (Perda) yaitu peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah sesuai dengan kondisi daerahnya, sebagai pelaksanaan dari peraturan di atasnya. Peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan pemerintah pusat.
Bab II
Pembahasan

A. Pentingnya Peraturan Perundang-Undangan Nasional bagi Warga Negara
Menurut ahli filsafat bangsa Yunani Aristoteles, manusia itu adalah zoon politicon, artinya manusia selalu berkeinginan untuk hidup bersama sehingga dikatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Manusia cenderung untuk hidup berkelompok atau bermasyarakat.
Dalam kehidupan bersama dengan orang lain, mungkin terjadi hubungan yang baik dan harmonis, akan tetapi mungkin juga terjadi pertentangan, perselisihan, dan benturan-benturan kepentingan di antara anggota masyarakat. Untuk mengatasi semua ini, perlu ada norma dalam masyarakat yang mengatur kehidupan masyarakat tertib, tentram dan harmonis.
Pada dasarnya, yang dimaksud dengan norma adalah pedoman, patokan, atau aturan bagi seseorang untuk bertindak dan bertingkah laku di dalam masyarakat. Ada beberapa macam norma dalam masyarakat, yaitu norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan dan norma hukum.
1. Norma Agama
Norma agama adalah norma yang bersumber pada wahyu Tuhan dan ini berisi larangan – larangan, perintah dan anjuran yang wajib ditaati oleh umat manusia. Norma agama bertujuan untuk menguasai dan mengatur kehidupan pribadi dalam mempercayai atau meyakini kekuatan Tuhan Maha Esa. Contoh norm agama antara lain sebagai berikut :
a. “Jangan berbuat riba! Barang siapa berbuat riba akan dimasukkan ke dalam neraka untuk selama – lamanya.” (QS.Albaqarah:275)
b. “Hormatilah ayah dan ibumu supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu kepadamu.”(Keluaran: 20:12).
Norma agama bersifat umum dan universal serta berlaku bagi seluruh golonagan manusia di dunia.

2. Norma Kesusilaan
Norma kesusilaan merupakan peraturan hidup yang dianggap bersumber dari hati nurani manusia (insan kamil atau menyangkut hasrat-hasrat rohaniah yang tidak dapat atau tidak perlu kelihatan). Ajaran norma ini, antara lain jangan membenci sesama manusia, tidak boleh curiga, tidak berkhianat dan sebaainya. Contoh norma kesusilaan sebagai berikut :
a. Hendaklah engkau berlaku jujur
b. Hendaklah engkau berbuat baik terhadap sesama manusia
c. Janganlah engkau membunuh sesamamu
3. Norma Kesopanan
Norma kesopanan timbul akibat pergaulan segolongan manusia. Norma kesopanan (kaidah sopan santun) lahir dari suatu kebiasaan (apa-apa yang biasa di dalam hidup antarpribadi) manusia, meskipun tetapi tidak semua kebiasaan adalah sopan santun. Contoh norma kesopanan sebagai berikut :
a. Orang muda harus menghormati orang lebih tua
b. Tidak boleh meludah di lantai atau di sembarang tempat.
c. Berilah tempat terlebih dahulu kepada wanita di dalam kereta api, bus dan lain-lain (terutama wanita yang tua,hamil, atau membawa bayi)
4. Norma Hukum
Norma hukum adalah norma yang dibuat oleh pemerintah atau pejabat yang berwenang. Norma hukum sangat tegas. Bagi siapa yang melanggar hukum akan memperoleh sanski hukum. Hukuman akan dijatuhkan setelah melalui proses pengadilan. Contoh norma hukum sebagai berikut:
a. Barang siapa yang dengan sengaja mengambil jiwa orang lain, dipidana karena membunuh dengan hukuman setinggi – tingginya 15 tahun (norma hukum pidana).
b. Orang yang tidak memenuhi suatu keterikatan yang diadakan, diwajibkan mengganti kerugian, misalnya jual beli, sewa-menyewa, ( norma hukum perdata).
c. Suatu persoalan terbatas harus didirikan dengan akta notaris dan disetujui oleh Departemen Kehakiman (norma hukum dagang).

Dalam Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945 hasil amandemen ditegaskan bahwa: “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Ini berarti bahwa Indonesia segala sesuatu harus didasarkan dan tunduk pada hukum yang berlaku. Oleh karena itu, untuk menciptakan kehidupan kenegaraan yang baik dan terciptanya tertib hukum bagi lembaga negara ataupun warga negara, diperlukan suatu peraturan perundang – undangan nasional.
Penyusunan peraturan perundang – undangan harus bersumber pada sumber hukum. Sumber hukum tersebut dipergunakan sebagai bahan penyusunan peraturan perundang – undangan. Sumber hukum bias tertulis dan tidak tertulis. Sumber hukum nasional kita adalah Pancasila (sebagaimana tertulis dalam Pembukaan UUD 1945) dan Batang Tubuh UUD 1945.
Peraturan perundang – undangan Republik Indonesia setelah reformasi bergulir, diatur dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang – undangan, yaitu sebagai berikut :
1. Undang – Undang Dasar 1945
UUD 1945 adalah peraturan negara yang tertinggi dalam negara Indonesia sebagai hukum dasar tertulis yang memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara sehingga Undang – Undang Dasar 1945 bersifat supel. Tujuannya adalah untuk memberikan tempat bagi pemikiran – pemikiran yang sesuai dengan dinamika revolusi.
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan putusan MPR sebagai pengembangan kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam sidang – sidang MPR. Ada dua keputusan MPR.
a. Ketetapan, yaitu keputusan MPR yang mengikat baik ke dalam ataupun keluar majelis.
b. Keputusan, yaitu keputusan MPR yang mengikat kedalam mejelis saja.
3. Undang – Undang
Udang – Undang yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden untuk melaksanakan Undang – Undang Dasar 1945 serta Ketetapan MPR. Menurut sistem Undang – Undang Dasar 1945, suatu undang – undang merupakan produk bersama antara Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dengan demikian suatu peraturan dapat dinamakan undang – undang apabila dibuat oleh Presiden dan DPR.
4. Peraturan Pemerintah pengganti Undang – Undang
Peraturan pemerintah pengganti udang – undang oleh pemerintah dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Peraturan Pemerintah pengganti undang – undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan berikut.
b. DPR dapat menerima atau menolak Peraturan Pemerintah pengganti Undang – Undang dengan tidak mengadakan perubahan.
c. Jika ditolak oleh DPR, Peraturan Pemerintah pengganti Undang – Undang harus dicabut.
5. Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah dibuat pemerintah untuk melaksanakan udang – undang.
6. Keputusan Presiden
Keputusan Presiden bersifat mengatur dan dibuat oleh Presiden untuk menjalankan fungsinya dan tugasnyaberupa pengaturan pelaksanaan administrasi negara dan administrasi pemerintah.
7. Peraturan Daerah
Peraturan Daerah dibuat untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan.
a. Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh DPRD I bersama Gubernur.
b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat DPRD II bersama Bupati/Walikota.
c. Peraturan Desa atau yang setingkat dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau yang setingkat. Sedangkan tata cara pembuatan peraturan desa atau yang setingkat diatur oleh peraturan daerah kabupaten/kota yang bersangkutan.
B. Alur Proses Penyusunan Perundang – Undangan Nasional serta Pihak – Pihak yang Terlibat
Alur proses penyusunan perundang – undangan nasional serta pihak – pihak yang terlibat.
1. Undang – Undang Dasar 1945
UUD 1945 merupakan peraturan negara yang tertinggi dalam tata urutan peraturan perundang – undangan Republik Indonesia. Rancangan UUD ini mulai dibahas dalam sidang – sidang BPUPKI dan kemudian menjadi UUD negara Republik Indonesia setelah ditetapkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945. Sekarang UUD 1945 telah mengalami perubahan atau amandemen yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan. Amandemen tersebut adalah sebagai berikut:
a. Amandemen pertama disahkan pada 19 Agustus 1999.
Pasal – pasal yang diamandemen adalah pasal 5, 7, 9, 13, 14, 17, 20, 21.
b. Amandemen kedua disahkan pada 18 Agustus 2000.
Pasal – pasal yang diamandemen adalah pasal 18, 20, 22, 25, 26, 27, 28, 30 dan 36.
c. Amandemen ketiga disahkan pada 10 November 2001.
Pasal – pasal yang diamandemen adalah pasal 1, 3, 6, 7, 8, 11, 17, 22, 23 dan 24.
d. Amandemen keempat disahkan pada 10 Agustus 2002.
Pasal – pasal yang diamandemen adalah pasal 2, 6, 8, 11, 16, 23, 24, 31, 32, 33, 34, 37, Aturan Peralihan dan Aturan Tambahan.
Dari uaraian di atas, sekarang kita dapat menyebutkan pihak – pihak yang terlibat dalam penyusunan dan penetapan UUD 1945, yaitu .
a. Anggota BPUPKI
b. Anggota PPKI
c. Anggota MPR
2. Ketetapan MPR
Berdasarkan Ketetapan MPR RI No.II/MPR/1999 tentang peraturan tata tertib MPR RI bab XII, dijelaskan sebagai berikut.
a. Pembuatan putusan – putusan majelis dilakukan melalui empat tingkat pembicaraan, kecuali untuk laporan pertanggung jawaban presiden dan hal – hal lain yang dianggap perlu oleh Majelis (Pasal 91).
b. Keempat tingkat pembicaraan tersebut adalah sebagai berikut.
1) Tingkat I
Pembahasan oleh Badan Pekerja Majelis terhadap bahan – bahan yang masuk dan hasil dari pembahasan tersebut merupakan Rancangan Ketetapan/Keputusan Majelis sebagai bahan pokok pembicaraan Tingkat II.
2) Tingkat II
Pembahasan oleh Rapat Paripurna Majelis yang didahului oleh penjelasan Pimpinan dan dilanjutkan dengan pemandangan umum fraksi-fraksi.
3) Tingkat III
Pembahasan oleh Komisi/Panitia Ad Hoc Majelis terhadap semua hasil pembicaraan Tingkat I dan II. Hasil pembahasan pada tingkat III merupakan Rancangan Ketetapan Keputusan Mejelis.
4) Tingkat IV
Pengambilan putusan oleh rapat Paripurna Majelis setelah mendengar laporan dari pimpinan komisi/Panitia Ad Hoc Majelis dan bilamana perlu dengan kata terakhir dari fraksi-fraksi.
Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa pembuat Keputusan maupun Ketetapan MPR adalah para anggota MPR.
3. Undang – Undang
Pasal 20 Ayat 1 UUD 1945 hasil amandemen menegaskan bahwa kekuasaan membentuk undang – undang dipegan oleh DPR. Dalam Pasal 5 Ayat 1 UUD 1945 hasil amandemen disebutkan bahwa: “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.”Selanjutnya dalam Pasal 20 Ayat 2 UUD 1945 hasil amandemen ditegaskan bahwa: “Setiap rencana undang – undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Dari penegasan pasal – pasal tersebut, maka diketahui sebagai berikut.
a. Undang – undang dibuat DPR bersama Presiden (Pemerintah).
b. Rancangan undang – undang dapat berasal dari DPR, dapat juga berasal dari Presiden (Pemerintah).
Proses pembentukan (pembuatan) undang – undang pada dasarnya terdiri atas tiga tahap berikut.
a. Proses penyiapan rancangan undang – undang yang merupakan proses penyusunan dan perencanaan di lingkungan Pemerintah, atau di lingkungan DPR (dalam hal rancangan undang-undang berasal dari atau usul inisiatif DPR).
b. Proses mendapatkan persetujuan yang merupakan pembahasan DPR.
c. Proses pengesahan (oleh Presiden) dan pengundangan (oleh Mentri Sekretasris Negara atas perintah Presiden).
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang (PERPU)
Proses penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tidak serumit dan sepanjang penyusunan undang-undang. Hal ini mengingat, bahwa PERPU disusun berdasarkan keadaan darurat atau mendesak yang memerlukan pengaturan cepat, sedangkan kalau dengan undang-undang diperlukan proses yang lama.
Ada 2 kemungkinan dalam proses penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU).
a. Kemungkinan Pertama
Mentri atau kepala LPND member tahu Presiden melalui Sekretariat Negara. Kemudian Presiden akan membuat suatu rancangan PERPU. Setelah diselesaikan penyusunannya oleh Sekretariat Negara (dalam hal ini oleh Biro Hukum dan Perundang-undangan), maka Presiden kemudian menetapkan PERPU tersebut.
b. Kemungkinan Kedua
Presiden berpendapat bahwa perlu dibentuk suatu peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU). Dalam hal demikian, Presiden meminta dibuat suatu konsep rancangan PERPU yang akan diselesaikan oleh Sekretariat (Biro Hukum dan Perundang-undangan). Setelah selesai, rancangan PERPU diserahkan kembali kepada Presiden untuk ditetapkan dan ditandatangani, PERPU yang telah ditetapkan Presiden tersebut kemudian diundangkan oleh Mentri Sekretariat Negara, dan dimasukkan dalam lembaran negara. PERPU ini sudah berlaku mengikat umum.
Dari uraian di atas, kita mengetahui bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan PERPU adalah Presiden, Mentri/Kepala LPDN, dan Sekretariat Negara (Mentri dan Staf Biro Hukum dan Perundang-undang).
5. Peraturan Pemerintah
Berdasarkan Instruksi Presiden (INPRES) Nomor 15 Tahun 1970, proses pembentukan Peraturan  Pemerintah (PP) adalah sebagai berikut.
a. Pimpinan Departemen dan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) dapat mengajukan prakarsa kepada Presiden yang memuat urgensi, argumentasi, dan pokok-pokok materi suatu masalah yang akan dituangkan ke dalam rancangan Peraturan Pemerintah tersebut untuk memperoleh izin atau persetujuan dari Presiden.
b. Setelah diteliti oleh Sekretariat Negara, kemudian Presiden menentukan menyetujui atau menolak.
c. Apabila Presiden menyetujui, maka dibentuklah panitia interdepartemen atau panitia antardepartemen untuk membahas dan mempersiapkan rancangan Peraturan Pemerintah. Setelah selesai, hasilnya dilaporkan kepada pimpinan departemen atau pimpinan LPDN yang bersangkutan
d. Rancangan Peraturan Pemerintah dikonsultasikan dan dikoordinasikan dengan mentri/pimpinan lembaga pemerintah yang terkait, Mentri Kehakiman, dan Sekretariat kabinet untuk mendapatkan tanggapan dan pertimbangan una penyempurnaan rancanan Peraturan Pemerintah
e. Setelah dipandang baik, rancangan PP tersebut kemudian diajukan kepada Presiden untuk ditetapkan dan ditandatangani.
f. Setelah ditetapkan rancangan PP diundangkan oleh Mentri Sekretaris Negara.
Dari uraian di atas, kita mengetahui bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan Peraturan Pemerintah yaitu Presiden, Mentri/Kepala LPDN, dan Mentri Sekretaris Negara, Sekretaris Kabinet.
6. Keputusan Presiden
Proses pembentuka suatu keputusan presiden, sebenarnya tidak begitu berbeda dengan proses pembentukan Peraturan Pemerintah, yaitu dimulai dari pembentukan Panitia-panitia yang bertugas untuk merumuskan, dan menuangkan semua permasalahan di dalam rancangan keputusan presiden. Apabila rancangan tersebut sudah selesai, maka presiden akan mendatangani dan menetapkan keputusan presiden tersebut. Jadi pihak – pihak yang terlibatpun hampir sama dengan pihak-pihak yang terlibat dalam pembentukan PP, yaitu :
a. Presiden
b. Mentri terkait
c. Mentri Sekretaris Negara
7. Peraturan Daerah
Proses penyusunan Peraturan Daerah dimulai dengan pengajuan rancangan peraturan daerah. Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari kepala daerah dan prakarsa DPRD. Prosesnya sebagai berikut.
a. Rancangan Peraturan daerah disampaikan pimpinan DPRD kepada seluruh anggota DPRD.
b. Pembahasan dilakukan melalui 4 tahapan pembicaraan, kecuali apabila Panitia Musyawarah menentukan lain.
C. Sikap Kritis terhadap Perundang-undangan yang Tidak Mengakomodasi Aspirasi Masyarakat
Dalam menyusun peraturan perundang-undangan harus diperhatikan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat karena kedaulatan memang berada di tangan rakyat. Dengan demikian, maka setiap peraturan perundang-undangan yang berlaku benar-benar menjadi wahana terciptanya tertib hukum guna tercapainya tujuan nasional negara kita. Tujuan negara kita adalah seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, yaitu :
a. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
b. Memajukan kesejahteraan umum
c. Mencerdasakan kehidupan bangsa
d. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Apabila suatu peraturan perundang-undangan ternyata tidak menampung atau memperhatikan aspirasi rakyat, maka masyarakat dapat secara efektif menyampaikan ataupun mendesakkan aspirasinya dengan cara yang dibenarkan undang-undang kepada badan/lembaga yang berwenang. Tujuannya, agar peraturan perundang-undangan dapat dibuat lebih baik dan aspiratif sehingga dapat berbentuk peraturan perundang-undangan yang menjamin ketertiban, ketentraman, hak kepentingan umum, dan keselamatan bangsa dan negara. Sikap kritis yang dilakukan dengan benar oleh masyarakat merupakan sumbangan yang sangat berarti bagi terciptanya kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang baik dan demokratis.
D. Sikap Patuh terhadap Perundang-Undangan Nasional
Di negara hukum, semua orang harus tunduk kepada hukum yang berlaku tanpa kecuali. Demikian juga kita yang hidup di negara hukum Indonesia tercinta ini, harus patuh dan tunduk kepada hukum yang berlaku di Indonesia sebab pada dasarnya hukum di buat untuk kebaikan kita semua. Alasan lain mengapa kita harus patuh pada hukum adalah karena kepatuhan terhadap hukum menciptakan tertib hukum dan tertib hukum menjamin tercapainya tujuan negara kita.
Sebaliknya, apabila kita tidak patuh pada hukum, maka akan tercipta ketidaktertiban masyrakat bahkan kekacauan dalam masyarakat sehingga meresahkan dan menyengsarakan masyarakat itu sendiri. Oleh Karen itu, penting bagi kita untuk menyadari bahwa kita adalah makhluk sosial yang senantiasa membutuhkan orang lain, dan tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain.
KESIMPULAN
a. Selain sebagai makhluk pribadi, manusia juga mahkluk sosial. Manusia menjadi berarti (bermakna), jika manusia berada dan bersama masyarakat, saling berhubungan dan bekerja sama.
b. Dalam berkehidupan bersama di masyarakat perlu ada norma yang mengaturnya sehingga tidak terjadi benturan kepentingan antara satu dengan lainnya. Norma – norma yang kita kenal adalah norma agama, norma kesusilaan , norma kesopanan, dan norma hukum.
c. Indonesia adalah negara hukum. Oleh karena itu, semua harus berdasar hukum dan patuh pada hukum yang berlaku. Kepatuhan terhadap hukum menjamin terciptanya tertib hukum dan tercapainya tujuan nasional.
d. Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 mengatur tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, yakni UUD 1945, Ketetapab MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah, PERPU, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah.

Daftar Pustaka
·         id.wikipedia.org/wiki/Undang-undang
·         portal.mahkamahkonstitusi.go.id/eLaw/peraturan_perundangan.php
·         www.djpp.depkumham.go.id/database.../undang-undang.html